Dua
hari tidak bertemu dengan Ro, menyadarkan Azis tentang suatu hal. Ia sadar
betul bahwa selama ini yang menjadi penyebab hubungan dirinya dan Ro menjadi
berantakan adalah keegoisannya sendiri. Ia sekarang paham mengapa Ro begitu
ingin hubungan mereka diselesaikan saja dan tidak perlu berlanjut lebih jauh
lagi.
"Ini
salahku." gumamnya
"Kamu
salah apa?" kata kakaknya yang mendadak berada di sampingnya
"Enggak,
enggak ada."
"Yang
benar?" sang kakak mencoba menggodanya
"Iya,
benar." jawab Azis mencoba santai
"Oh
iya, sampai lupa. Perkembangan hubungan kamu dan Ro bagaimana? Tidak baik menunda-nunda
pernikahan."
Azis
mendadak hening. Ia bingung harus menjawab dengan kata-kata yang seperti apa
pertanyaan kakaknya itu.
"Kenapa?
Ada masalah Zis?" tanya kakaknya sambil merangkulnya
"Aku
hanya memikirkan satu hal Kak, mengapa susah sekali untuk mempertahankan?"
Azis tampak sedih
"Kamu
harus sabar. Ini merupakan ujian buat kamu. Dalam mempertahankan sebuah
hubungan ada yang namanya istilah tarik dan mengulur. Ketika pihak yang satu
menarik, maka kamulah sebagai pihak kedua yang harus mengulur. Jadi, jika saat
ini kamu sedang mengulur itu artinya kamu sedang berupaya mempertahankan. Sudah
terlalu jauh bagimu untuk menggulung kembali semua yang telah kamu ulur. Namun
bukan berarti terlalu sulit bagimu untuk menarik yang telah kamu ulurkan?"
"Dia
tetap menginginkan perpisahan. Dia sudah tak mau lagi, mengayuh dayung yang
sama denganku. Lalu bagaimana mungkin aku mempertahankan perahu kami sendirian
untuk sampai ke dermaga?" Azis terdengar kesal sekali
"Saat
ini, hanya kamu yang tahu caranya agar kamu tetap bisa sampai ke dermaga
meskipun harus mendayung sendirian. Carilah tahu mengapa kalian harus berpisah.
Mengapa dia akhirnya menyerah sebelum akhirnya sampai di dermaga."
"Dia
mengatakan padaku bahwa perpisahan merupakan jalan terbaik untuk membuat kami
sama-sama bahagia. Namun sampai saat ini, aku tak melihat kebahagiaan apapun ketika
kami berpisah. Aku hanya melihat kesedihan dan penyesalan." ujar Azis
"Boleh
jadi, kesedihan dan penyesalan yang kamu lihat itu merupakan alasan kamu mengakui
kesalahanmu. Lalu kamu takut baru bisa mengungkapkan semua keselahanmu ketika
kalian resmi berpisah. Begitukan? Itu semua hanya ketakutanmu yang tidak
beralasan."
"Tapi..."
"Kamu
tahu kenapa dia mengatakan perpisahan akan membuat kalian lebih bahagia?"
tanya kakaknya
"Apa?"
Azis tampak tidak setuju dengan pernyataan sang kakak
"Karena
dia belajar mengakui kesalahannya. Dia tahu betul dimana letak kesalahannya.
Sehingga dia mencoba mencari sisi positif setelah perpisahan kalian. Dia lebih memikirkan
kebahagiaan ketimbang terus-terusan memikirkan kesedihan. Dan itu berbeda
sekali dengan kamu."
Azis
merasa terhenyak mendengar kalimat akhir dari sang kakak. Ia tidak pernah memikirkan
sampai ke sana. Ia terlalu sibuk memikirkan hatinya yang nantinya akan sangat
terluka tetapi lupa memikirkan perasaan Ro.
"Aku
yang salah." ucapnya
Air
mata Azis jatuh pelan-pelan. Atsa langsung memeluknya, "Segalanya masih
belum terlambat."
Azis
memeluk erat sang kakak. Isakannya begitu menyayat. Hingga membuat sang kakak
juga ikut menitihkan air mata bersamanya.
"Sudahlah."
kata Atsa mencoba menguatkan adiknya itu
"Kamu
tidak boleh lemah begini. Segalanya masih sangat mungkin untuk diperbaiki.
Pergilah dan yakinkan dia bahwa kalian masih bisa untuk tetap mendayung bersama
perahu kalian. Kamu pasti bisa, Zis." kata Atsa sambil tersenyum
Azis
mengangguk dan memberikan senyuman tipis ke Atsa. Sang kakak pun memeluknya
sekali lagi. Azis penuh harapan sekarang.
***
Hari
ini, Azis memberanikan diri untuk datang kembali ke rumah Ro. Ia lebih percaya
diri kali ini dan tampak sudah sangat siap dengan apa yang akan menjadi
keputusan mereka bersama nantinya. Begitu sampai di depan rumah Ro, ia langsung
melangkahkan kakinya turun dari mobil.
"Aku
tak tahu apa yang sejatinya memang baik untuk kita, namun aku meyakini apapun
yang terjadi hari ini merupakan takdir yang baik untuk kita." ucap Azis
dalam hati
Pria
itu pun melangkahkan kakinya dengan pasti menuju pintu depan rumah Ro. Sejenak
ia menarik napas lalu menghembuskannya. Dengan mantap, Azis mengetuk pintu rumah
Ro. Tiga kali ia mengetuk pintu, terdengar suara seseorang yang sepertinya
sedang datang untuk membukakan pintu.
"Azis?"
"Bibi.
Assalamu'alaikum Bi." kata Azis sambil mencium tangan bibi
"Ayo,masuk."
ajak bibi
"Azis
hanya ingin menemui Ro, Bi. Ronya ada?"
"Ronya
sedang keluar sebentar. Mungkin sebentar lagi kembali. Kita bicara di dalam
saja. Ayo, masuk."
"Azis
di luar saja Bi, tidak apa-apa."
"Ya
sudah, bibi tidak bisa memaksa. Kamu mau dibuatkan minum apa?"
"Teh
saja Bi, terima kasih."
"Baiklah,
sebentar ya."
Bibi
pun kemudian pergi meninggalkan Azis. Sementara pria itu memilih untuk duduk di
kursi luar. Rumah Ro memang besar, namun hanya dihuni oleh Ro dan bibinya saja.
Sedangkan ayah beserta ibunya tinggal di luar negeri karena bisnis sang ayah
yang memang ada di sana. Ro memilih tinggal di Indonesia karena ingin menemani
neneknya yang sudah meninggal dua tahun belakangan ini. Sebenarnya, setelah
kepergian neneknya Ro berniat kembali ke Cordoba untuk tinggal bersama ayah dan
ibunya. Namun ia bertemu dengan Azis tepat sebelum ia memutuskan kembali hingga
akhirnya mereka menjalin hubungan serius sampai sekarang. Tetapi, apakah
hubungan itu belum memiliki kepastian untuk dilanjutkan atau terpaksa harus diakhiri.
Semuanya akan terjawab hari ini.
"Kamu
ada kesini?"
Ucapan
itu membuyarkan lamunan Azis. Pria itu langsung berdiri.
"Ro,
aku..."
"Kalau
kamu datang kemari tanpa sebuah kejelasan, lebih baik pulang saja. Aku tidak
mau kita membuang-buang waktu." kata Ro sinis
"Dengar
dulu, akukan belum mengatakan apapun. Bisakah kita membuang ego kita untuk saat
ini? Aku mohon." jawaban Azis begitu lembut
Ro
menuruti kata-kata Azis dan akhirnya duduk di kursi. Tidak lama kemudian, sang
bibi datang membawakan minuman dan sedikit makanan untuk Azis.
"Dimakan
dan diminum ya Zis."
"Iya,
Bi. Terima kasih Bi." jawab Azis
Bibi
pun langsung pergi. Azis meneguk sejenak teh yang dibuatkan oleh bibi.
Sementara Ro masih dengan aksi dinginnya. Ia enggan sekali menatap Azis.
"Seandainya
aku bisa kembali ke masa lalu, aku ingin sekali terus-menerus mengulang masa-masa
dimana kita berdua dipertemukan oleh takdir yang bernama hujan. Apa jadinya
jika saat itu tidak turun hujan? Apa kita akan berada pada keadaan seperti ini?"
tanya Azis
Ro
hanya bungkam.
"Sejujurnya,
hari ini aku berharap bahwa ada baiknya waktu itu hujan tidak perlu turun."
Pernyataan
Azis barusan membuat Ro cukup terkejut.
"Setidaknya,
jika waktu itu hujan tidak turun, aku tidak perlu menyakiti kamu seperti ini.
Kamu juga tidak perlu membenci aku seperti sekarang ini. Seperti apa yang kamu
bilang, kita pasti akan jauh lebih bahagia jika tidak bersama."
Azis
mengalihkan pandangannya ke Ro. Wanita itu tampak masih teguh dengan
pendiriannya. Perkataan Azis barusan bahkan tidak menyentuh hatinya sama
sekali.
"Namun
bagaimana, jika sebenarnya kita memang telah ditakdirkan untuk bersama
sekalipun hujan tak turun saat itu? Apakah kita akan sangat bahagia saat ini?
Atau mungkin sebaliknya?"
"Aku
tidak akan melihat masa lalu, untuk menjadi diriku yang sekarang. Hari ini,
siapa aku dan siapa kamu bukanlah hasil dari masa lalu, melainkan hasil dari
proses yang sama-sama kita jalani. Masa laluku, itu hanya aku yang punya.
Begitu juga dengan masa lalumu, hanya kamu yang memiliki itu."
"Lalu..."
Azis mengeraskan suaranya
"Bagaimana
dengan masa lalu yang pernah kita miliki, siapa yang berhak memiliki itu?"
Ro
tak bisa menjawab apapun. Ia kembali memalingkan wajahnya.
"Aku
menghargai masa yang terjadi saat ini, tetapi aku juga perlu mempersiapkan masa
depanku. Namun, bukan berarti aku melupakan masa lalu. Oleh karena itu, aku
menyadari bahwa keegoisanku dan segala hal yang buruk pada diriku telah
membuatmu terluka, kamu sakit hati sehingga lebih berpikir bahwa perpisahan
akan membuatmu lebih bahagia dan aku juga tak perlu menambah dosaku yang sudah
menggunung itu. Begitu 'kan?"
"Dosamu
itu bukan tanggung jawabku, bukan pula tanggung jawabmu terhadapku, tetapi
tanggung jawabmu kepada Tuhan."
"Jadi,
jangan pernah membicarakan soal dosa denganku." Ro berkata tegas
Azis
menghela napas dan tangannya sedari tadi juga tidak bisa diam. Ia mencoba
memejamkan matanya sejenak. Menarik napas dan menghembuskannya sebanyak tiga
kali. Sesaat kemudian, ia kembali membuka matanya lalu memalingkan pandangannya
ke arah Ro. Azis tersenyum tipis. Ia lalu memalingkan pandangannya lagi ke
depan.
"Bagaimana
jika kita melupakan itu semua? Memperbaiki yang masih tersisa sampai saat ini?"
ujar Azis
"Kita
masih saling membutuhkan satu sama lain. Bukan?"
Mereka
saling menatap satu sama lain dengan ekspresi yang berbeda-beda.
"Berpisah
di tengah jalan, takkan membuat kita sama-sama bahagia. Aku sudah merenungi
segalanya kemarin dan itu menyadarkan tentang satu hal, aku ingin terus
mendayung perahu yang sama denganmu. Aku tak ingin melakukannya dengan yang lain."
Azis menegaskan kata-katanya
"Apa
arti kebahagiaan buat kamu, Zis?" Ro menyorot tajam
"Bagaimana
dengan kamu sendiri? Apa arti kebahagiaan buatmu adalah ketika tidak bersamaku?
Kamu bahagia tanpa aku?" suara Azis mulai meninggi
Ro hanya
diam.
"Berarti
benar, kamu hanya bahagia tanpa aku. Aku bukan kebahagiaanmu." Azis
menitihkan air mata
"..."
"Maaf,
Ro. Aku yang memang gagal dalam hubungan ini. Aku tak bersungguh-sungguh
padamu. Aku tak mampu melakukan tugasku dengan baik. Maafkan aku. Maafkan
aku."
"Aku
butuh waktu untuk memikirkan ini. Untuk mengklarifikasi benar atau tidaknya
pernyataan kamu barusan. Aku tak ingin mengikuti perasaan."
"Baiklah,
aku akan datang jika kamu yang memintaku untuk datang kemari.
Assalamu'alaikum."
"Wa'alakumussalam."
Lagi, Azis terpaksa pergi dari rumah Ro dengan
tangan hampa. Tetapi setidaknya, ia sudah berani mengungkapkan kesalahannya
hari ini.
***
0 komentar:
Posting Komentar