Sabtu, 10 Juni 2017

Sepotong Kisah dari Hujan Part II








Dua hari tidak bertemu dengan Ro, menyadarkan Azis tentang suatu hal. Ia sadar betul bahwa selama ini yang menjadi penyebab hubungan dirinya dan Ro menjadi berantakan adalah keegoisannya sendiri. Ia sekarang paham mengapa Ro begitu ingin hubungan mereka diselesaikan saja dan tidak perlu berlanjut lebih jauh lagi.
"Ini salahku." gumamnya
"Kamu salah apa?" kata kakaknya yang mendadak berada di sampingnya
"Enggak, enggak ada."
"Yang benar?" sang kakak mencoba menggodanya
"Iya, benar." jawab Azis mencoba santai
"Oh iya, sampai lupa. Perkembangan hubungan kamu dan Ro bagaimana? Tidak baik menunda-nunda pernikahan."
Azis mendadak hening. Ia bingung harus menjawab dengan kata-kata yang seperti apa pertanyaan kakaknya itu.
"Kenapa? Ada masalah Zis?" tanya kakaknya sambil merangkulnya
"Aku hanya memikirkan satu hal Kak, mengapa susah sekali untuk mempertahankan?" Azis tampak sedih
"Kamu harus sabar. Ini merupakan ujian buat kamu. Dalam mempertahankan sebuah hubungan ada yang namanya istilah tarik dan mengulur. Ketika pihak yang satu menarik, maka kamulah sebagai pihak kedua yang harus mengulur. Jadi, jika saat ini kamu sedang mengulur itu artinya kamu sedang berupaya mempertahankan. Sudah terlalu jauh bagimu untuk menggulung kembali semua yang telah kamu ulur. Namun bukan berarti terlalu sulit bagimu untuk menarik yang telah kamu ulurkan?"
"Dia tetap menginginkan perpisahan. Dia sudah tak mau lagi, mengayuh dayung yang sama denganku. Lalu bagaimana mungkin aku mempertahankan perahu kami sendirian untuk sampai ke dermaga?" Azis terdengar kesal sekali
"Saat ini, hanya kamu yang tahu caranya agar kamu tetap bisa sampai ke dermaga meskipun harus mendayung sendirian. Carilah tahu mengapa kalian harus berpisah. Mengapa dia akhirnya menyerah sebelum akhirnya sampai di dermaga."
"Dia mengatakan padaku bahwa perpisahan merupakan jalan terbaik untuk membuat kami sama-sama bahagia. Namun sampai saat ini, aku tak melihat kebahagiaan apapun ketika kami berpisah. Aku hanya melihat kesedihan dan penyesalan." ujar Azis
"Boleh jadi, kesedihan dan penyesalan yang kamu lihat itu merupakan alasan kamu mengakui kesalahanmu. Lalu kamu takut baru bisa mengungkapkan semua keselahanmu ketika kalian resmi berpisah. Begitukan? Itu semua hanya ketakutanmu yang tidak beralasan."
"Tapi..."
"Kamu tahu kenapa dia mengatakan perpisahan akan membuat kalian lebih bahagia?" tanya kakaknya
"Apa?" Azis tampak tidak setuju dengan pernyataan sang kakak
"Karena dia belajar mengakui kesalahannya. Dia tahu betul dimana letak kesalahannya. Sehingga dia mencoba mencari sisi positif setelah perpisahan kalian. Dia lebih memikirkan kebahagiaan ketimbang terus-terusan memikirkan kesedihan. Dan itu berbeda sekali dengan kamu."
Azis merasa terhenyak mendengar kalimat akhir dari sang kakak. Ia tidak pernah memikirkan sampai ke sana. Ia terlalu sibuk memikirkan hatinya yang nantinya akan sangat terluka tetapi lupa memikirkan perasaan Ro.
"Aku yang salah." ucapnya
Air mata Azis jatuh pelan-pelan. Atsa langsung memeluknya, "Segalanya masih belum terlambat."
Azis memeluk erat sang kakak. Isakannya begitu menyayat. Hingga membuat sang kakak juga ikut menitihkan air mata bersamanya.
"Sudahlah." kata Atsa mencoba menguatkan adiknya itu
"Kamu tidak boleh lemah begini. Segalanya masih sangat mungkin untuk diperbaiki. Pergilah dan yakinkan dia bahwa kalian masih bisa untuk tetap mendayung bersama perahu kalian. Kamu pasti bisa, Zis." kata Atsa sambil tersenyum
Azis mengangguk dan memberikan senyuman tipis ke Atsa. Sang kakak pun memeluknya sekali lagi. Azis penuh harapan sekarang.
***
Hari ini, Azis memberanikan diri untuk datang kembali ke rumah Ro. Ia lebih percaya diri kali ini dan tampak sudah sangat siap dengan apa yang akan menjadi keputusan mereka bersama nantinya. Begitu sampai di depan rumah Ro, ia langsung melangkahkan kakinya turun dari mobil.
"Aku tak tahu apa yang sejatinya memang baik untuk kita, namun aku meyakini apapun yang terjadi hari ini merupakan takdir yang baik untuk kita." ucap Azis dalam hati
Pria itu pun melangkahkan kakinya dengan pasti menuju pintu depan rumah Ro. Sejenak ia menarik napas lalu menghembuskannya. Dengan mantap, Azis mengetuk pintu rumah Ro. Tiga kali ia mengetuk pintu, terdengar suara seseorang yang sepertinya sedang datang untuk membukakan pintu.
"Azis?"
"Bibi. Assalamu'alaikum Bi." kata Azis sambil mencium tangan bibi
"Ayo,masuk." ajak bibi
"Azis hanya ingin menemui Ro, Bi. Ronya ada?"
"Ronya sedang keluar sebentar. Mungkin sebentar lagi kembali. Kita bicara di dalam saja. Ayo, masuk."
"Azis di luar saja Bi, tidak apa-apa."
"Ya sudah, bibi tidak bisa memaksa. Kamu mau dibuatkan minum apa?"
"Teh saja Bi, terima kasih."
"Baiklah, sebentar ya."
Bibi pun kemudian pergi meninggalkan Azis. Sementara pria itu memilih untuk duduk di kursi luar. Rumah Ro memang besar, namun hanya dihuni oleh Ro dan bibinya saja. Sedangkan ayah beserta ibunya tinggal di luar negeri karena bisnis sang ayah yang memang ada di sana. Ro memilih tinggal di Indonesia karena ingin menemani neneknya yang sudah meninggal dua tahun belakangan ini. Sebenarnya, setelah kepergian neneknya Ro berniat kembali ke Cordoba untuk tinggal bersama ayah dan ibunya. Namun ia bertemu dengan Azis tepat sebelum ia memutuskan kembali hingga akhirnya mereka menjalin hubungan serius sampai sekarang. Tetapi, apakah hubungan itu belum memiliki kepastian untuk dilanjutkan atau terpaksa harus diakhiri. Semuanya akan terjawab hari ini.
"Kamu ada kesini?"
Ucapan itu membuyarkan lamunan Azis. Pria itu langsung berdiri.
"Ro, aku..."
"Kalau kamu datang kemari tanpa sebuah kejelasan, lebih baik pulang saja. Aku tidak mau kita membuang-buang waktu." kata Ro sinis
"Dengar dulu, akukan belum mengatakan apapun. Bisakah kita membuang ego kita untuk saat ini? Aku mohon." jawaban Azis begitu lembut
Ro menuruti kata-kata Azis dan akhirnya duduk di kursi. Tidak lama kemudian, sang bibi datang membawakan minuman dan sedikit makanan untuk Azis.
"Dimakan dan diminum ya Zis."
"Iya, Bi. Terima kasih Bi." jawab Azis
Bibi pun langsung pergi. Azis meneguk sejenak teh yang dibuatkan oleh bibi. Sementara Ro masih dengan aksi dinginnya. Ia enggan sekali menatap Azis.
"Seandainya aku bisa kembali ke masa lalu, aku ingin sekali terus-menerus mengulang masa-masa dimana kita berdua dipertemukan oleh takdir yang bernama hujan. Apa jadinya jika saat itu tidak turun hujan? Apa kita akan berada pada keadaan seperti ini?" tanya Azis
Ro hanya bungkam.
"Sejujurnya, hari ini aku berharap bahwa ada baiknya waktu itu hujan tidak perlu turun."
Pernyataan Azis barusan membuat Ro cukup terkejut.
"Setidaknya, jika waktu itu hujan tidak turun, aku tidak perlu menyakiti kamu seperti ini. Kamu juga tidak perlu membenci aku seperti sekarang ini. Seperti apa yang kamu bilang, kita pasti akan jauh lebih bahagia jika tidak bersama."
Azis mengalihkan pandangannya ke Ro. Wanita itu tampak masih teguh dengan pendiriannya. Perkataan Azis barusan bahkan tidak menyentuh hatinya sama sekali.
"Namun bagaimana, jika sebenarnya kita memang telah ditakdirkan untuk bersama sekalipun hujan tak turun saat itu? Apakah kita akan sangat bahagia saat ini? Atau mungkin sebaliknya?"
"Aku tidak akan melihat masa lalu, untuk menjadi diriku yang sekarang. Hari ini, siapa aku dan siapa kamu bukanlah hasil dari masa lalu, melainkan hasil dari proses yang sama-sama kita jalani. Masa laluku, itu hanya aku yang punya. Begitu juga dengan masa lalumu, hanya kamu yang memiliki itu."
"Lalu..." Azis mengeraskan suaranya
"Bagaimana dengan masa lalu yang pernah kita miliki, siapa yang berhak memiliki itu?"
Ro tak bisa menjawab apapun. Ia kembali memalingkan wajahnya.
"Aku menghargai masa yang terjadi saat ini, tetapi aku juga perlu mempersiapkan masa depanku. Namun, bukan berarti aku melupakan masa lalu. Oleh karena itu, aku menyadari bahwa keegoisanku dan segala hal yang buruk pada diriku telah membuatmu terluka, kamu sakit hati sehingga lebih berpikir bahwa perpisahan akan membuatmu lebih bahagia dan aku juga tak perlu menambah dosaku yang sudah menggunung itu. Begitu 'kan?"
"Dosamu itu bukan tanggung jawabku, bukan pula tanggung jawabmu terhadapku, tetapi tanggung jawabmu kepada Tuhan."
"Jadi, jangan pernah membicarakan soal dosa denganku." Ro berkata tegas
Azis menghela napas dan tangannya sedari tadi juga tidak bisa diam. Ia mencoba memejamkan matanya sejenak. Menarik napas dan menghembuskannya sebanyak tiga kali. Sesaat kemudian, ia kembali membuka matanya lalu memalingkan pandangannya ke arah Ro. Azis tersenyum tipis. Ia lalu memalingkan pandangannya lagi ke depan.
"Bagaimana jika kita melupakan itu semua? Memperbaiki yang masih tersisa sampai saat ini?" ujar Azis
"Kita masih saling membutuhkan satu sama lain. Bukan?"
Mereka saling menatap satu sama lain dengan ekspresi yang berbeda-beda.
"Berpisah di tengah jalan, takkan membuat kita sama-sama bahagia. Aku sudah merenungi segalanya kemarin dan itu menyadarkan tentang satu hal, aku ingin terus mendayung perahu yang sama denganmu. Aku tak ingin melakukannya dengan yang lain." Azis menegaskan kata-katanya
"Apa arti kebahagiaan buat kamu, Zis?" Ro menyorot tajam
"Bagaimana dengan kamu sendiri? Apa arti kebahagiaan buatmu adalah ketika tidak bersamaku? Kamu bahagia tanpa aku?" suara Azis mulai meninggi
Ro hanya diam.
"Berarti benar, kamu hanya bahagia tanpa aku. Aku bukan kebahagiaanmu." Azis menitihkan air mata
"..."
"Maaf, Ro. Aku yang memang gagal dalam hubungan ini. Aku tak bersungguh-sungguh padamu. Aku tak mampu melakukan tugasku dengan baik. Maafkan aku. Maafkan aku."
"Aku butuh waktu untuk memikirkan ini. Untuk mengklarifikasi benar atau tidaknya pernyataan kamu barusan. Aku tak ingin mengikuti perasaan."
"Baiklah, aku akan datang jika kamu yang memintaku untuk datang kemari. Assalamu'alaikum."
"Wa'alakumussalam."
 Lagi, Azis terpaksa pergi dari rumah Ro dengan tangan hampa. Tetapi setidaknya, ia sudah berani mengungkapkan kesalahannya hari ini.
***


 Pengarang : Dis Yosri
Share:

0 komentar:

Posting Komentar