Minggu, 04 Juni 2017

Jalan Menuju Iman

Oleh : Ahmad Amjad Muzani

Ada yang bilang bahwa apa yang kita imani saat ini hanyalah warisan. Saat masih anak-anak dulu kita mengetahui pokok-pokok akidah seperti rukun iman melalui apa yang diajarkan guru TPA ataupun guru agama di sekolah. Hal itu kemudian kita hafalkan dan dijadikan pedoman dalam meniti kehidupan ini. Namun seiring usia kita yang semakin dewasa terkadang muncul pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai diri kita sebagai manusia. Setidaknya ada 3 pertanyaan fundamental yang mungkin pernah terbesit dalam benak kita dan membuat tidak tenang, yaitu: (1) sebenarnya dari mana manusia berasal?; (2) untuk apa manusia ada/hidup?; (3) akan kemana manusia setelah kehidupan ini?.
Jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut erat kaitanya dengan akidah seseorang yang dijadikanya sebagai “landasan hidup”. Ia akan meniti kehidupan di muka bumi ini berdasarkan “landasan” tersebut terlepas apakah jawaban tersebut benar atau salah. Bahkan kalau bisa ia akan mengajak orang lain untuk mengikuti landasan hidupnya. Manusia di bumi ini ternyata memiliki jawaban yang berbeda-beda atas ketiga pertanyaan tersebut. Misalnya sebagai berikut:
1. Seseorang/kelompok menjawabnya sebagai berikut, “(1) kehidupan (alam semesta termasuk manusia didalamnya) ini ada dengan sendirinya (secara spontan); (2) manusia berasal dari tanah/materi dan kelak akan menjadi materi lagi sehingga manusia hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia mampu hidup; (3) setelah kehidupan manusia tidak akan ada pertanggungjawaban”. Maka mereka akan hidup didunia ini dengan aturan yang dibuatnya sendiri dan standar baik/buruknya ditentukan sendiri.
2. Sementara seseorang/kelompok lain menjawabnya sebagai berikut, “(1) dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta yang mengadakan seluruh alam termasuk dirinya; (2) manusia diberi tugas/amanah kehidupan selama hidup di dunia; (3) kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh perbuatanya di dunia”. Maka mereka akan memiliki standar baik/buruk serta hidup berdasarkan aturan Sang Pencipta.
Seperti itulah dua contoh “landasan kehidupan” yang diimani seseorang atau kelompok. Namun pertanyaanya adalah, bagaimana jawaban yang benar atas permasalahan ini?.
Pemecahan yang benar atas permasalahan ini tidak akan terbentuk kecuali dengan pemikiran yang jernih dan menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan serta hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini. Ketika kita berfikir ada 4 komponen yang harus dimiliki, yaitu: otak yang sehat, realita/fakta yang terindra (al-waqi’ al-mahsusah), alat indra (al-hawas), dan informasi-informasi sebelumnya (al-maklumat as-saabiqah).
Akal pikiran manusia hanya dapat menjangkau tiga hal, yaitu berpikir tentang manusia itu sendiri, alam semesta dan kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah (tidak dapat berbuat sesuatu dengan dirinya sendiri), serba kurang dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia, ia terbatas sifatnya karena tumbuh dan berkembang tergantung terhadap segala sesuatu yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Manusia sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya menurut jangkauan panca indra kenyataanya bersifat terbatas, lemah dan butuh kepada yang lain (seperti makanan, air, udara, dan sebagainya). Begitu pula halnya dengan kehidupan (nyawa), ia bersifat terbatas pula, sebab penampakan/perwujudanya bersifat individual semata, dan apa yang dapat disaksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu individu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula alam semesta juga bersifat terbatas. Sebab alam semesta hanyalah merupakan himpunan dari benda-benda di bumi dan angkasa dimana setiap benda tersebut memang bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi alam semesta pun bersifat terbatas.
Kini jelaslah bahwa manusia, kehidupan dan alam semesta, ketiganya bersifat terbatas. Sesuatu yang terbatas pasti ada yang membatasi, karena jika tidak ada yang membatasi maka sifat ketiganya harus tidak terbatas (dan hal tersebut tidak mungkin). Satu kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa ada sesuatu yang membatasi semua yang bisa kita indera (kebenaran) atau dengan kata lain keberadaan sesuatu yang membatasi manusia, alam semesta dan kehidupan bersifat wajibul wujud (wajib adanya) dan mutlak keberadaanya. Kita biasa menyebut-Nya sebagai Sang Pencipta (al-Khaliq).
Masalah selanjutnya adalah bagaimana makhluk, dalam hal ini manusia mengenal al-Khaliq tersebut dan siapakah Dia?. Maka hanya al-Khaliq saja lah yang dapat memberikan petunjuk kepada umat manusia melalui firman-Nya. Sehingga langkah pertama adalah membuktikan bahwa al-Qur’an benar-benar berasal dari al-Khaliq tersebut. Suatu fakta bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga dalam hal ini hanya terdapat 3 kemungkinan terkait al-Qur’an, yaitu: (1) kitab itu merupakan karangan bangsa Arab, (2) kitab itu merupakan karangan Nabi Muhammad SAW, atau (3) kitab itu memang berasal dari al-Khaliq.
Pertama, al-Qur’an merupakan karangan bangsa arab merupakan kemungkinan yang bathil. Karena di dalam al-Qur’an sendiri terdapat tantangan kepada bangsa arab untuk menghasilkan karya yang serupa, akan tetapi mereka tidak juga berhasil. Sebagaimana tertera dalam ayat berikut:
Description: huud_13
Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat al-Qur’an itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggilah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”. [QS. Huud: 13]
Description: yunuus 10_38
Atau (patutkah) mereka mengatakan “Muhammad membuat-buatnya. Katakanlah: (Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggilah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar”. [QS. Yunus: 38]
Description: al baqarah 2_23
dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat(saja) yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. [al-Baqarah: 23]
Adapun kemungkinan kedua, bahwa al-Qur’an itu karangan Muhammad SAW adalah kemungkinan yang bathil pula. Sebab Nabi Muhammad orang arab juga, selama bangsa arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa maka begitu pula Muhammad SAW. Jelaslah bahwa al-Qur’an bukan karanganya. Hal tersebut diperkuat dengan banyaknya hadis-hadis shahih dan mutawatir dari Rasulullah, yang apabila hadis tersebut dibandingkan dengan ayat al-Qur’an maka tidak dijumpai adanya kemiripan gaya bahasa. Sekeras apapun seseorang menciptakan gaya bahasa akan terdapat kemiripan diantaranya. Jadi karena tidak ada kemiripan gaya bahasa al-Qur’an dan Hadis, maka al-Qur’an jelas bukan perkataan Muhammad SAW.
Setelah kedua kemungkinan sebelumnya terbantahkan, kini hanya tinggal satu kemungkinan yaitu bahwa Al-Qur’an berasal dari Sang Pencipta yaitu Allah SWT. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang dipelihara/dijaga keaslianya langsung oleh Allah dan sekaligus berfungsi sebagai penyempurna dan penghapus syari’at-syari’at nabi dan rasul sebelumnya. Allah SWT berfirman:
Description: al-hijr-9
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”. [al-Hijr: 9]

Al-Qur’an telah mampu membuat revolusi mental dan sosial serta mengubah dan menuntun pemikiran manusia selama empat belas abad. Cukuplah bukti bahwa mukjizat al-Qur’an telah mampu menyebabkan orang menjadi beriman. Bangsa yang buta huruf dan hidup dalam kegelapan jahiliyah telah berubah menjadi bangsa yang berilmu, berperadaban tinggi serta mampu memimpin dunia. Pengakuan akan kebenaran al-Qur’an juga dicetuskan para cendikiawan barat dari berbagai disiplin ilmu. Sebagian mereka telah mengakui bahwa al-Qur’an bersumber dari Sang Pencipta, apalagi setelah banyak ayat yang terbukti sesuai dengan berbagai penemuan baru pada abad modern ini. {disarikan dari kitab Nizham Al Islam, karya Taqiyuddin An Nabhani}


Share:

0 komentar:

Posting Komentar