Oleh : Ahmad Amjad Muzani
Ada yang bilang bahwa apa yang kita imani saat ini hanyalah warisan. Saat masih anak-anak dulu kita mengetahui pokok-pokok akidah seperti rukun iman melalui apa yang diajarkan guru TPA ataupun guru agama di sekolah. Hal itu kemudian kita hafalkan dan dijadikan pedoman dalam meniti kehidupan ini. Namun seiring usia kita yang semakin dewasa terkadang muncul pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai diri kita sebagai manusia. Setidaknya ada 3 pertanyaan fundamental yang mungkin pernah terbesit dalam benak kita dan membuat tidak tenang, yaitu: (1) sebenarnya dari mana manusia berasal?; (2) untuk apa manusia ada/hidup?; (3) akan kemana manusia setelah kehidupan ini?.
Ada yang bilang bahwa apa yang kita imani saat ini hanyalah warisan. Saat masih anak-anak dulu kita mengetahui pokok-pokok akidah seperti rukun iman melalui apa yang diajarkan guru TPA ataupun guru agama di sekolah. Hal itu kemudian kita hafalkan dan dijadikan pedoman dalam meniti kehidupan ini. Namun seiring usia kita yang semakin dewasa terkadang muncul pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai diri kita sebagai manusia. Setidaknya ada 3 pertanyaan fundamental yang mungkin pernah terbesit dalam benak kita dan membuat tidak tenang, yaitu: (1) sebenarnya dari mana manusia berasal?; (2) untuk apa manusia ada/hidup?; (3) akan kemana manusia setelah kehidupan ini?.
Jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut erat kaitanya dengan akidah
seseorang yang dijadikanya sebagai “landasan hidup”. Ia akan meniti kehidupan
di muka bumi ini berdasarkan “landasan” tersebut terlepas apakah jawaban
tersebut benar atau salah. Bahkan kalau bisa ia akan mengajak orang lain untuk
mengikuti landasan hidupnya. Manusia di bumi ini ternyata memiliki jawaban yang
berbeda-beda atas ketiga pertanyaan tersebut. Misalnya sebagai berikut:
1. Seseorang/kelompok menjawabnya sebagai berikut, “(1)
kehidupan (alam semesta termasuk manusia didalamnya) ini ada dengan sendirinya
(secara spontan); (2) manusia berasal dari tanah/materi dan kelak akan menjadi
materi lagi sehingga manusia hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia
mampu hidup; (3) setelah kehidupan manusia tidak akan ada pertanggungjawaban”.
Maka mereka akan hidup didunia ini dengan aturan yang dibuatnya sendiri dan
standar baik/buruknya ditentukan sendiri.
2. Sementara seseorang/kelompok lain menjawabnya sebagai
berikut, “(1) dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta yang mengadakan
seluruh alam termasuk dirinya; (2) manusia diberi tugas/amanah kehidupan selama
hidup di dunia; (3) kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan
menghisab seluruh perbuatanya di dunia”. Maka mereka akan memiliki standar
baik/buruk serta hidup berdasarkan aturan Sang Pencipta.
Seperti
itulah dua contoh “landasan kehidupan” yang diimani seseorang atau kelompok.
Namun pertanyaanya adalah, bagaimana jawaban yang benar atas permasalahan ini?.
Pemecahan yang benar atas permasalahan ini tidak akan terbentuk kecuali
dengan pemikiran yang jernih dan menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan
kehidupan serta hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah
kehidupan dunia ini. Ketika kita berfikir ada 4 komponen yang harus dimiliki,
yaitu: otak yang sehat, realita/fakta yang terindra (al-waqi’ al-mahsusah),
alat indra (al-hawas), dan informasi-informasi sebelumnya (al-maklumat
as-saabiqah).
Akal pikiran manusia hanya dapat menjangkau tiga hal, yaitu berpikir
tentang manusia itu sendiri, alam semesta dan kehidupan. Ketiga unsur ini
bersifat terbatas dan bersifat lemah (tidak dapat berbuat sesuatu dengan
dirinya sendiri), serba kurang dan saling membutuhkan kepada yang lain.
Misalnya manusia, ia terbatas sifatnya karena tumbuh dan berkembang tergantung
terhadap segala sesuatu yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat
dilampauinya lagi. Manusia sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya
menurut jangkauan panca indra kenyataanya bersifat terbatas, lemah dan butuh
kepada yang lain (seperti makanan, air, udara, dan sebagainya). Begitu pula
halnya dengan kehidupan (nyawa), ia bersifat terbatas pula, sebab
penampakan/perwujudanya bersifat individual semata, dan apa yang dapat
disaksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu
individu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula alam
semesta juga bersifat terbatas. Sebab alam semesta hanyalah merupakan himpunan
dari benda-benda di bumi dan angkasa dimana setiap benda tersebut memang
bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya
terbatas pula sifatnya. Jadi alam semesta pun bersifat terbatas.
Kini jelaslah bahwa manusia, kehidupan dan alam semesta, ketiganya
bersifat terbatas. Sesuatu yang terbatas pasti ada yang membatasi, karena jika
tidak ada yang membatasi maka sifat ketiganya harus tidak terbatas (dan hal
tersebut tidak mungkin). Satu kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa ada
sesuatu yang membatasi semua yang bisa kita indera (kebenaran) atau dengan kata
lain keberadaan sesuatu yang membatasi manusia, alam semesta dan kehidupan bersifat
wajibul wujud (wajib adanya) dan mutlak keberadaanya. Kita biasa
menyebut-Nya sebagai Sang Pencipta (al-Khaliq).
Masalah selanjutnya adalah bagaimana makhluk, dalam hal ini manusia
mengenal al-Khaliq tersebut dan siapakah Dia?. Maka hanya al-Khaliq
saja lah yang dapat memberikan petunjuk kepada umat manusia melalui firman-Nya.
Sehingga langkah pertama adalah membuktikan bahwa al-Qur’an benar-benar berasal
dari al-Khaliq tersebut. Suatu fakta bahwa al-Qur’an diturunkan dalam
bahasa Arab, sehingga dalam hal ini hanya terdapat 3 kemungkinan terkait
al-Qur’an, yaitu: (1) kitab itu merupakan karangan bangsa Arab, (2) kitab itu
merupakan karangan Nabi Muhammad SAW, atau (3) kitab itu memang berasal dari
al-Khaliq.
Pertama, al-Qur’an merupakan karangan bangsa arab merupakan kemungkinan
yang bathil. Karena di dalam al-Qur’an sendiri terdapat tantangan kepada bangsa
arab untuk menghasilkan karya yang serupa, akan tetapi mereka tidak juga
berhasil. Sebagaimana tertera dalam ayat berikut:
![Description: huud_13](file:///C:/Users/Umiuh/AppData/Local/Temp/OICE_3EC5E6F0-A6CF-4F11-9A41-12AB3EDD569A.0/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif)
Bahkan
mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat al-Qur’an itu”, Katakanlah:
“(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang
menyamainya, dan panggilah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain
Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”. [QS. Huud: 13]
![Description: yunuus 10_38](file:///C:/Users/Umiuh/AppData/Local/Temp/OICE_3EC5E6F0-A6CF-4F11-9A41-12AB3EDD569A.0/msohtmlclip1/01/clip_image004.gif)
Atau
(patutkah) mereka mengatakan “Muhammad membuat-buatnya. Katakanlah: (Kalau
benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya
dan panggilah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain
Allah, jika kamu orang yang benar”. [QS. Yunus: 38]
![Description: al baqarah 2_23](file:///C:/Users/Umiuh/AppData/Local/Temp/OICE_3EC5E6F0-A6CF-4F11-9A41-12AB3EDD569A.0/msohtmlclip1/01/clip_image006.gif)
dan jika
kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba
Kami (Muhammad), buatlah satu surat(saja) yang semisal al-Qur’an itu dan
ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. [al-Baqarah: 23]
Adapun kemungkinan kedua, bahwa al-Qur’an itu karangan Muhammad SAW
adalah kemungkinan yang bathil pula. Sebab Nabi Muhammad orang arab juga,
selama bangsa arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa maka begitu pula
Muhammad SAW. Jelaslah bahwa al-Qur’an bukan karanganya. Hal tersebut diperkuat
dengan banyaknya hadis-hadis shahih dan mutawatir dari Rasulullah, yang apabila
hadis tersebut dibandingkan dengan ayat al-Qur’an maka tidak dijumpai adanya
kemiripan gaya bahasa. Sekeras apapun seseorang menciptakan gaya bahasa akan
terdapat kemiripan diantaranya. Jadi karena tidak ada kemiripan gaya bahasa
al-Qur’an dan Hadis, maka al-Qur’an jelas bukan perkataan Muhammad SAW.
Setelah kedua kemungkinan sebelumnya terbantahkan, kini hanya tinggal
satu kemungkinan yaitu bahwa Al-Qur’an berasal dari Sang Pencipta yaitu Allah
SWT. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang dipelihara/dijaga keaslianya langsung
oleh Allah dan sekaligus berfungsi sebagai penyempurna dan penghapus
syari’at-syari’at nabi dan rasul sebelumnya. Allah SWT berfirman:
![Description: al-hijr-9](file:///C:/Users/Umiuh/AppData/Local/Temp/OICE_3EC5E6F0-A6CF-4F11-9A41-12AB3EDD569A.0/msohtmlclip1/01/clip_image008.gif)
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya”. [al-Hijr:
9]
Al-Qur’an telah mampu membuat revolusi mental dan sosial serta mengubah
dan menuntun pemikiran manusia selama empat belas abad. Cukuplah bukti bahwa
mukjizat al-Qur’an telah mampu menyebabkan orang menjadi beriman. Bangsa yang
buta huruf dan hidup dalam kegelapan jahiliyah telah berubah menjadi bangsa
yang berilmu, berperadaban tinggi serta mampu memimpin dunia. Pengakuan akan
kebenaran al-Qur’an juga dicetuskan para cendikiawan barat dari berbagai
disiplin ilmu. Sebagian mereka telah mengakui bahwa al-Qur’an bersumber dari
Sang Pencipta, apalagi setelah banyak ayat yang terbukti sesuai dengan berbagai
penemuan baru pada abad modern ini. {disarikan dari kitab Nizham Al Islam,
karya Taqiyuddin An Nabhani}
0 komentar:
Posting Komentar