Minggu, 14 Agustus 2016

Jumat, 05 Agustus 2016

Kutahu itu Kamu

Ini pertemuan kita pertama kali setelah bertahun-tahun yang lalu. Saling menatap satu sama lain dari kejauhan. Aku membisu. Tubuhku mendadak kaku. Wajahku tak berekspresi sama sekali. Otakku bahkan tak sempat memikirkan apa yang dipikirkannya. Waktu seakan mendadak lenyap. Orang-orang berlalu lalang melintas begitu saja, berlalu tanpa pernah aku peduli. Mataku tak lari kemana-mana, hanya fokus menatapnya. Waktu pun melesat tanpa makna. Aku dan dirinya masih sama-sama mematung. Jarak yang sebenarnya tidak begitu berarti, hilang maknanya menjadi berarti. Sindiran Atsa melintas di kepalaku tanpa aku sadari. 


"Kamu terlalu sibuk memikirkan orang yang bahkan mungkin tak pernah memikirkan kamu. Sementara di sisi lain, kamu mengabaikan orang lain yang selalu memikirkan kamu." 


Saat itu, aku tak begitu peduli dengan kata-katanya. Aku masih terlalu sibuk memikirkan hatiku yang hancur lebur terluka. Namun hari ini, setelah melihatnya kembali berdiri di hadapanku, di depan sebuah cafe, tempat dimana hatiku diporak-porandakan oleh seorang wanita yang kupuja siang dan malam. Sindiran Atsa melintas lagi di pikiranku. 

"Kamu tahu, yang kamu lakukan itu jahat, Juna!" Aku memekik dalam hati. Menyumpah sendiri. Mencoba mengklarifikasi atas sindiran itu. Menegaskan bahwa aku tak bersalah sama sekali. Sialnya, semakin kucoba membenarkan diriku, semakin aku tahu kalau aku salah. Wanita yang sedang berdiri tidak jauh dari pandanganku itu, hatiku membelanya mati-matian, ikut menyindir seperti Atsa.

"Situasi menyedihkan macam apa ini?" Gumamku tanpa suara 

Sindiran Atsa untuk ketiga kalinya, melintas lagi dalam pikiranku. 

 "Aku berani taruhan, bahkan jika kedua bola matamu itu melihatnya dengan jelas, tubuhmu dan tubuhnya berada tidak berjauhan dan jarak bukan lagi merupakan sesuatu yang berarti, lidahmu tetap saja akan keluh, kakimu berat untuk digerakkan dan dirimu itu, sibuk membenarkan tindakanmu sendiri. Kamu benar-benar menyedihkan!" 

Tangan-tanganku mengepal. Rahangku mengatup kuat. Wajahku mendadak merah padam. Tekanan darahku mungkin sedang diambang batas. Sindiran Atsa tadi tidak benar sama sekali. Aku tak boleh membiarkan itu menjadi realita. 

 "Aku tak seperti itu, Atsa!" Gumamku kesal dalam hati 

"Oh ya? Bahkan sekarang yang hanya bisa kamu lakukan adalah mematung seperti patung!"

Sekarang, suara-suara sindiran Atsa yang mulanya hanya melintas dalam otakku, terdengar sangat jelas di telingaku. Aku nyaris gila mendengar suara-suara sindiran Atsa yang menyebalkan itu. Kakakku itu, sukses membuatku kesal sekaligus tak tahu harus berbuat apa. 

"Ayoo Juna, langkahkan kakimu!! Apalagi yang kau tunggu??" 

Sekarang giliran diriku yang memrotes ketidakberdayaan diriku sendiri. 

 "Juna, kesempatan takkan pernah datang lebih dari ini. Hampiri dia dan jelaskan semuanya. Sebelum semua terlambat!" 

Dilema macam apa ini? Diriku memaksa diriku sendiri. Kegagalan seperti apa ini? Diriku mengendalikan diriku sendiri. Waktu terus berjalan. Orang-orang terus melintas. Mataku tetap fokus ke satu arah dan tidak pernah teralihkan ke siapapun kecuali , dia. Namun kakiku terlalu susah untuk dilangkahkan ke sana. Akhirnya, aku menghela napas panjang, sudah pasrah. Merasa lebih baik untuk pergi. Ya, harapan itu sudah hilang. Aku menundukkan kepalaku. Memasukkan kedua tanganku ke saku celana. Kakiku yang sedari tadi berat untuk melangkah, mendadak ringan ketika aku memutuskan untuk pergi. Aku sudah putus asa. Terlalu sulit rasanya untuk merendahkan ego, mengakui kesalahanku sendiri. Aku melirik ke arah cafe itu. Semua kenangan terputar ulang dalam memoriku. Ditinggalkan, meninggalkan, apakah akan menjadi sejarah buruk dari cafe ini? Aku balik menghela napas sekali lagi. 

 "Ya, mungkin memang harus begini." Gumamku tertunduk lesu 

Aku melirik ke depan lagi. Mataku terbelalak. Hatiku bertanya-tanya. Kemana dia? Kemana dia? Pertanyaan itu yang terus ditanyakan hatiku. Mataku mencari ke segala arah. Tak ada, aku tak lagi menemukan dia. Aku putus asa kali ini. Ya, harapan itu sudah benar-benar pergi. Ia takkan pernah datang lagi. Kesempatan itu sudah lenyap. Hatiku sudah melambaikan tangan sambil mengucapkan selamat tinggal. 

 "Mungkin ini akhirnya." 

Aku mengumpulkan kembali sisa semangatku, melangkah pergi dari tempat ini. 

"Halo, Juna." 

 Aku terkejut setengah mati. Kakiku yang hendak melangkah mendadak kaku dengan sendirinya. Tak ada ekspresi lain, selain mata melotot, mulut terbuka dan wajah yang tidak karuan. 

"Bagaimana kabarmu? Lama sekali rasanya kita tak berjumpa. Kota ini, aku sangat merindukannya." Ia tampak bahagia, itu jelas sekali tergambar di wajahnya.

"Aku?" Tanganku menunjuk diriku, aku salah tingkah. 

"Ehm." Dia menganggukkan kepala sambil tersenyum, "Kamu baik, 'kan?" 

 Aku mengangguk, sambil mencoba menata ulang kepercayaan diriku. Memberanikan diri untuk mulai bersuara. 

"Bagaimana jika kita ke cafe ini? Aku dengar cafe ini merupakan salah satu cafe salah satu cafe terunik di kota ini." Bicaraku sangat cepat 

"Juna, kamu baik-baik aja, 'kan?" Ia kembali memastikan Aku menghela napas panjang. 

Merasa begitu frustasi. Aku menatapnya lagi. 

"Halo, Shelin. Senang bisa melihat kamu lagi." Aku mencoba membangun ulang suasana 

"Senang bisa kembali ke kota ini." Jawabnya tersenyum 

"Aku pikir, cafe ini akan menjadi tempat yang lebih baik untuk kita menyambung kembali pembicaraan. Kamu keberatan jika mampir sebentar di cafe ini?" Aku berharap ia tidak menolak. 

"Tentu saja tidak, ayo masuk!" 

Ia melangkah lebih dulu meninggalkanku Aku bahagia mendengar ucapan itu. Kulangkahkan kakiku mengikutinya. Kami memilih meja yang dekat jendela. Dia bilang akan lebih menyenangkan bisa duduk sambil melihat kesibukan kota. Orang-orang tak hentinya berlalu lalang. Mobil, bus dan kendaraan lainnya juga tak pernah absen memadati kota, menyenangkan bisa menjadi pengamat setia. Seorang pelayan datang membawakan dua cangkir gelas berisi cokelat panas. Aromanya begitu nikmat ketika hidung ini menghirupnya. Ditambah suasana cafe yang sangat romantis. Lagu-lagu yang diputar, beberapa diantaranya merupakan lagu favoritku. Hari ini, cafe ini menawarkan sejarah baru dalam hidupku. 

"Silahkan!" Kata pelayan itu kemudian pergi meninggalkan kami 

Aku melihatnya meneguk cokelat itu lebih dulu. Aku memerhatikannya lamat-lamat. Diriku begitu terpesona dengan kecantikannya saat ini. Aku menyesal baru menyadari ini sekarang. Kemana saja diriku dulu? 

"Cokelat ini enak sekali Juna, kamu tak ingin mencobanya?" Serunya senang 

Aku diam sambil terus memerhatikan, 

"Aku sudah bosan dengan cokelat ini. Tetapi hadirnya kamu, aku pikir, aku akan meneguknya lagi sekarang." 

Kuambil cangkir berisi cokelat itu, kuteguk perlahan. Ucapanku tadi membuat raut wajah Shelin berubah. Ia terdiam. 

"Apa kata-kataku tadi menyinggungmu?", ia masih diam memilih meneguk cokelatnya kembali. 

"Maaf karena telah sering mengabaikan kamu, Shelin." Ucapku menatapnya, dia menghentikan meneguk cokelatnya. Menaruh cangkir itu kembali ke atas meja. 

"Maaf karena hanya bisa mengatakan ini. Aku memang bukan pria yang baik, bukan juga sahabat yang pengertian, aku bahkan sudah menyakiti hati sahabatku sendiri. Ini sangat menyedihkan."Aku sangat menyesal 

"Kenapa kamu tidak mengatakan "Aku merindukan kamu, Shelin atau aku mencintai kamu.", ehm?" Matanya berkaca-kaca 

"Ternyata Kakakku Atsa itu benar. Aku terlalu sibuk Rani dan lupa jika kamu tak pernah meninggalkanku." Suaraku mulai parau 

"Aku sudah mengubur masa lalu itu, Juna. Benar, bahwa kamu merupakan salah satu fakta tentang mengapa aku memilih pergi ke New York selama bertahun-tahun. Aku ingin melupakan kamu Juna. Aku ingin melakukan itu." Terangnya begitu meyakinkan Aku hanya menyimak perkataannya. 

"Tetapi, setelah mendengar kabar pernikahan Rani, aku semakin tak yakin ingin melupakanmu. Aku ingin kamu menemaniku, Juna." Ia menatapku yakin 

"Apa aku terlihat pantas untuk menjadi seseorang yang bisa menemanimu?" Kataku dengan mata berkaca-kaca 

"Tidak." Singkatnya, aku tersenyum padanya, 

" I love you, Shelin." 

Ia menitihkan air mata. Tersenyum bahagia. Aku beranjak dari kursi, berlutut di samping kursinya, 

"Maukah kamu menemaniku di sisa hidupku ini? Menjadi orang spesial yang akan terus menemaniku hingga rambutku memutih nanti?" Ia mencium dahiku mesra. Membelai kepalaku lembut. Aku tersenyum menatapnya. 

 "Terima kasih, terima kasih Shelin." Ucapku merangkulnya mesra Atsa benar. 

Walaupun dia seorang Kakak yang menyebalkan, tetapi apa yang diucapkan merupakan sebuah fakta yang nyata. Aku dan Shelin memang merupakan sahabat, dia sahabat dan cintaku yang paling mengerti aku. Aku memang bukan seorang pria sekaligus sahabat yang baik untuknya, namun mulai hari ini, detik ini, aku akan berusaha menjadi yang terbaik untuknya, memberikan cinta yang tiada henti setiap saat, aku ingin menembus dosaku di masa lalu. Cafe ini akan menjadi saksinya, saksi dimana aku dan Shelin berjanji untuk bersama sampai tua, sampai maut memanggil kami berdua. Selesai 

...

Biodata Penulis 
Hallo, namaku Shella Aisiyah Diva. Nama penaku adalah Diis Yosri. Aku mahasiswi jurusan Fisika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini aku tinggal di Komplek Perum.Polri Gowok Blok B No.73, Ambarukmo,Yogyakarta. Ini nomor CP-ku 082370039215. Nama Fbku Divas Ince dan twitterku ada di @Div_A_Shella. Terima kasi.
Share: