Minggu, 18 Juni 2017

Conciousness



Sejak SD saya selalu penasaran dengan cara kerja otak. Terutama terkait dengan pertanyaan bagaimana kita bisa berfikir, mengapa kita bisa sadar. Pelajaran biologi di SMP terdapat materi yang membahas organ-organ tubuh manusia seperti jantung, paru-paru, sistem reproduksi, dan sebagainya, termasuk otak. Saya bersabar menunggu materi pelajaran biologi sampai pada bahasan tentang organ tubuh manusia yang bernama otak. Saya mengira kalau guru saya akan menjelaskan segalanya tentang otak. Segala hal yang ingin saya ketahui, termasuk pertanyaan mengapa kita bisa punya kesadaran, bagaimana proses berfikir itu sebenarnya. Namun sayang sekali. Saya harus kecewa karena ternyata penjelasan guru saya tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Buku pelajaran biologi SMP itu juga sama sekali tidak memberikan jawaban. Penjelasan tentang cara kerja otak ternyata minim sekali.
            Sekarang saya tahu bahwa ternyata otak masih menjadi misteri terbesar umat manusia. Kita telah mengetahui bagaimana bintang terbentuk, materi tebentuk, juga bagaimana awal mula alam semesta. Kita telah mengetahui hal-hal yang letaknya jauh di luar sana. Tapi rupanya kita belum cukup cerdas untuk mengetahui cara kerja objek yang sangat dekat dengan diri kita, yaitu otak. Memang benar, berkat ditemukannya CT-scanner, pengetahuan kita tentang cara kerja otak semakin meningkat. Meskipun begitu, pertanyaan mendasar mengenai asl-usul kesadaran belum terjawab. Bagaimana otak menciptakan kesadaran?
            Pada hari Sabtu tanggal 20 Mei 2017, departemen riset FKIST mengadakan diskusi ilmiah yang salah satu bahasan utamanya adalah tentang bagaimana otak menciptakan kesadaran. Salah satu pemateri memberikan pemaparan dari sudut pandang filsafat terkait dengan pertanyaan tersebut. Bagi saya yang merupakan mahasiswa fisika, penjelasan beliau terdengar begitu rumit dan memusingkan. Pemateri memang sengaja tidak memberikan jawaban final bagi pertanyaan tersebut melainkan mengajak kami untuk berfikir dan berdiskusi. Meskipun tidak diberikan jawaban, saya mendapatkan sedikit pencerahan yang kemudian membuat saya mampu untuk berspekulasi tentang bagaimana otak menciptakan kesadaran.
            Dari sudut pandang fisika, tidak ada bedanya antara benda mati atau benda hidup. Batu, pohon, hewan, dan manusia adalah sama saja. Sama-sama tersusun dari partikel-partikel yang sama dan mematuhi hukum-hukum fisika yang sama pula. Jadi jawaban dari pertanyaan bagaimana otak menciptakan kesadaran dilihat dari sudut pandang fisika sebenarnya sudah jelas. Kesadaran merupakan hasil dari interaksi partikel-partikel penyusun otak kita. Namun jawaban ini masih berupa garis besar. Jawaban tersebut masih sangat jauh dari kata detail.
            Salah satu informasi penting dari pemateri diskusi adalah bahwa sebelum menjawab pertanyaan bagaimana otak menciptakan kesadaran, kita harus memahami dulu hakekat pengetahuan. Sebab kesadaran sangat erat kaitannya dengan pengetahuan. Kita tidak mungkin memiliki kesadaran tanpa adanya pengetahuan. Saya berspekulasi bahwa sesungguhnya kesadaran adalah pengetahuan itu sendiri. Lantas timbul pertanyaan baru, darimana asal pengetahuan kita? Filsafat telah memberikan bermacam jawaban atas pertanyaan ini. Namun sepertinya jawaban para filsuf tidak akan mampu memuaskan para saintis. Saintis selalu menginginkan yang namanya pembuktian. Sementara jawaban-jawaban yang diberikan para filsuf sulit untuk diuji kebenarannya. Itulah sebabnya tiap filsuf bisa memiliki jawaban yang berbeda-beda atas satu pertanyaan yang sama. Karena setiap jawaban adalah benar. Tidak ada mekanisme baku yang dapat digunakan untuk memfalsifikasi jawaban-jawaban para filsuf.
            Jawaban yang cukup memuaskan saya sebagai seorang saintis yaitu bahwa pengetahuan dihasilkan melalui pengalaman. Saya berspekulasi bahwa pengetahuan sejatinya adalah ingatan. Telah dibuktikan melalui eksperimen bahwa keahlian seseorang melakukan sesuatu sebenarnya adalah salah satu bentuk dari ingatan. Di samping itu telah dibuktikan pula bahwa ingatan sebenarnya adalah representasi dari koneksi antar neuron dalam otak kita. Setiap kali kita mendapat rangsangan dari luar yang dalam bahasa sehari-hari kita sebut sebagai pengalaman, koneksi dapat terbentuk dan terputus. Koneksi antar neuron sifatnya dinamis. Dinamika dari koneksi-koneksi ini mempengaruhi ingatan dan kemampuan kita. Dengan kata lain, rangsangan dari luar membentuk pengetahuan kita.
            Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kesadaran dibentuk oleh pengalaman. Atau kalau mau lebih detail lagi, oleh rangsangan dari luar. Itu sebabnya sewaktu masih bayi tingkat kesadaran kita masih sangat rendah. Hal ini dikarenakan pengalaman kita masih sangat minim. Mungkin agak sulit untuk memahami bahwa kesadaran hanyalah hasil dari interaksi sel-sel otak. Untuk lebih mudahnya bayangkan sebuah aplikasi komputer. Sebuah software. Kita dapat membuat sebuah software yang dapat memberikan respon terhadap rangsangan dari luar. Jika kita menyusun algoritma yang sangat rumit sehingga software tersebut menghasilkan respon yang sifatnya stokastik, kita akan mengira bahwa software tersebut memiliki kesadaran, memiliki kehendak sendiri, kehendak bebas (free will). Meskipun kita tahu bahwa sejatinya software tersebut sebenarnya hanyalah hasil dari interaksi komponen-komponen mikro dari hardware.
Ini hanyalah spekulasi semata. Sampai saat ini, kesadaran masih merupakan misteri. Misteri terbesar umat manusia. Sampai-sampai banyak orang yang mengatakan bahwa ini merupakan bukti adanya Tuhan. Kita tidak mampu menjelaskan asal-usul kesadaran, oleh karena itu kesadaran pastilah pekerjaan Tuhan. Saya kurang setuju dengan pernyataan ini. Kesadaran memang ciptaan Tuhan. Kita bisa mempunyai kesadaran karena Tuhan yang telah menganugerahkannya kepada kita. Namun hanya karena kita tidak tahu cara kerja kesadaran lantas kita langsung mengatakan bahwa kesadaran adalah pekerjaan Tuhan adalah sikap seorang pemalas. Seorang saintis tidak semestinya mempunyai sikap demikian. Kita percaya bahwa kesadaran memang pekerjaan Tuhan. Tetapi itu bukan berarti bahwa kita selamanya tidak akan pernah bisa mengerti mekanisme di balik kesadaran itu sendiri. Hal ini tidak jauh berbeda dengan peristiwa hujan. Kita percaya bahwa hujan merupakan pekerjaan Tuhan. Namun kita tetap berusaha menjelaskan mekanisme terjadinya hujan. Dan untuk yang satu ini kita telah tahu dengan sangat baik. Oleh karena itu, saya yakin, hanya masalah waktu saja, kita akan tahu bagaimana otak menciptakan kesadaran.

Pengarang : Wahyu Nurodin

           
Share:

Sabtu, 10 Juni 2017

Sepotong Kisah dari Hujan Part II








Dua hari tidak bertemu dengan Ro, menyadarkan Azis tentang suatu hal. Ia sadar betul bahwa selama ini yang menjadi penyebab hubungan dirinya dan Ro menjadi berantakan adalah keegoisannya sendiri. Ia sekarang paham mengapa Ro begitu ingin hubungan mereka diselesaikan saja dan tidak perlu berlanjut lebih jauh lagi.
"Ini salahku." gumamnya
"Kamu salah apa?" kata kakaknya yang mendadak berada di sampingnya
"Enggak, enggak ada."
"Yang benar?" sang kakak mencoba menggodanya
"Iya, benar." jawab Azis mencoba santai
"Oh iya, sampai lupa. Perkembangan hubungan kamu dan Ro bagaimana? Tidak baik menunda-nunda pernikahan."
Azis mendadak hening. Ia bingung harus menjawab dengan kata-kata yang seperti apa pertanyaan kakaknya itu.
"Kenapa? Ada masalah Zis?" tanya kakaknya sambil merangkulnya
"Aku hanya memikirkan satu hal Kak, mengapa susah sekali untuk mempertahankan?" Azis tampak sedih
"Kamu harus sabar. Ini merupakan ujian buat kamu. Dalam mempertahankan sebuah hubungan ada yang namanya istilah tarik dan mengulur. Ketika pihak yang satu menarik, maka kamulah sebagai pihak kedua yang harus mengulur. Jadi, jika saat ini kamu sedang mengulur itu artinya kamu sedang berupaya mempertahankan. Sudah terlalu jauh bagimu untuk menggulung kembali semua yang telah kamu ulur. Namun bukan berarti terlalu sulit bagimu untuk menarik yang telah kamu ulurkan?"
"Dia tetap menginginkan perpisahan. Dia sudah tak mau lagi, mengayuh dayung yang sama denganku. Lalu bagaimana mungkin aku mempertahankan perahu kami sendirian untuk sampai ke dermaga?" Azis terdengar kesal sekali
"Saat ini, hanya kamu yang tahu caranya agar kamu tetap bisa sampai ke dermaga meskipun harus mendayung sendirian. Carilah tahu mengapa kalian harus berpisah. Mengapa dia akhirnya menyerah sebelum akhirnya sampai di dermaga."
"Dia mengatakan padaku bahwa perpisahan merupakan jalan terbaik untuk membuat kami sama-sama bahagia. Namun sampai saat ini, aku tak melihat kebahagiaan apapun ketika kami berpisah. Aku hanya melihat kesedihan dan penyesalan." ujar Azis
"Boleh jadi, kesedihan dan penyesalan yang kamu lihat itu merupakan alasan kamu mengakui kesalahanmu. Lalu kamu takut baru bisa mengungkapkan semua keselahanmu ketika kalian resmi berpisah. Begitukan? Itu semua hanya ketakutanmu yang tidak beralasan."
"Tapi..."
"Kamu tahu kenapa dia mengatakan perpisahan akan membuat kalian lebih bahagia?" tanya kakaknya
"Apa?" Azis tampak tidak setuju dengan pernyataan sang kakak
"Karena dia belajar mengakui kesalahannya. Dia tahu betul dimana letak kesalahannya. Sehingga dia mencoba mencari sisi positif setelah perpisahan kalian. Dia lebih memikirkan kebahagiaan ketimbang terus-terusan memikirkan kesedihan. Dan itu berbeda sekali dengan kamu."
Azis merasa terhenyak mendengar kalimat akhir dari sang kakak. Ia tidak pernah memikirkan sampai ke sana. Ia terlalu sibuk memikirkan hatinya yang nantinya akan sangat terluka tetapi lupa memikirkan perasaan Ro.
"Aku yang salah." ucapnya
Air mata Azis jatuh pelan-pelan. Atsa langsung memeluknya, "Segalanya masih belum terlambat."
Azis memeluk erat sang kakak. Isakannya begitu menyayat. Hingga membuat sang kakak juga ikut menitihkan air mata bersamanya.
"Sudahlah." kata Atsa mencoba menguatkan adiknya itu
"Kamu tidak boleh lemah begini. Segalanya masih sangat mungkin untuk diperbaiki. Pergilah dan yakinkan dia bahwa kalian masih bisa untuk tetap mendayung bersama perahu kalian. Kamu pasti bisa, Zis." kata Atsa sambil tersenyum
Azis mengangguk dan memberikan senyuman tipis ke Atsa. Sang kakak pun memeluknya sekali lagi. Azis penuh harapan sekarang.
***
Hari ini, Azis memberanikan diri untuk datang kembali ke rumah Ro. Ia lebih percaya diri kali ini dan tampak sudah sangat siap dengan apa yang akan menjadi keputusan mereka bersama nantinya. Begitu sampai di depan rumah Ro, ia langsung melangkahkan kakinya turun dari mobil.
"Aku tak tahu apa yang sejatinya memang baik untuk kita, namun aku meyakini apapun yang terjadi hari ini merupakan takdir yang baik untuk kita." ucap Azis dalam hati
Pria itu pun melangkahkan kakinya dengan pasti menuju pintu depan rumah Ro. Sejenak ia menarik napas lalu menghembuskannya. Dengan mantap, Azis mengetuk pintu rumah Ro. Tiga kali ia mengetuk pintu, terdengar suara seseorang yang sepertinya sedang datang untuk membukakan pintu.
"Azis?"
"Bibi. Assalamu'alaikum Bi." kata Azis sambil mencium tangan bibi
"Ayo,masuk." ajak bibi
"Azis hanya ingin menemui Ro, Bi. Ronya ada?"
"Ronya sedang keluar sebentar. Mungkin sebentar lagi kembali. Kita bicara di dalam saja. Ayo, masuk."
"Azis di luar saja Bi, tidak apa-apa."
"Ya sudah, bibi tidak bisa memaksa. Kamu mau dibuatkan minum apa?"
"Teh saja Bi, terima kasih."
"Baiklah, sebentar ya."
Bibi pun kemudian pergi meninggalkan Azis. Sementara pria itu memilih untuk duduk di kursi luar. Rumah Ro memang besar, namun hanya dihuni oleh Ro dan bibinya saja. Sedangkan ayah beserta ibunya tinggal di luar negeri karena bisnis sang ayah yang memang ada di sana. Ro memilih tinggal di Indonesia karena ingin menemani neneknya yang sudah meninggal dua tahun belakangan ini. Sebenarnya, setelah kepergian neneknya Ro berniat kembali ke Cordoba untuk tinggal bersama ayah dan ibunya. Namun ia bertemu dengan Azis tepat sebelum ia memutuskan kembali hingga akhirnya mereka menjalin hubungan serius sampai sekarang. Tetapi, apakah hubungan itu belum memiliki kepastian untuk dilanjutkan atau terpaksa harus diakhiri. Semuanya akan terjawab hari ini.
"Kamu ada kesini?"
Ucapan itu membuyarkan lamunan Azis. Pria itu langsung berdiri.
"Ro, aku..."
"Kalau kamu datang kemari tanpa sebuah kejelasan, lebih baik pulang saja. Aku tidak mau kita membuang-buang waktu." kata Ro sinis
"Dengar dulu, akukan belum mengatakan apapun. Bisakah kita membuang ego kita untuk saat ini? Aku mohon." jawaban Azis begitu lembut
Ro menuruti kata-kata Azis dan akhirnya duduk di kursi. Tidak lama kemudian, sang bibi datang membawakan minuman dan sedikit makanan untuk Azis.
"Dimakan dan diminum ya Zis."
"Iya, Bi. Terima kasih Bi." jawab Azis
Bibi pun langsung pergi. Azis meneguk sejenak teh yang dibuatkan oleh bibi. Sementara Ro masih dengan aksi dinginnya. Ia enggan sekali menatap Azis.
"Seandainya aku bisa kembali ke masa lalu, aku ingin sekali terus-menerus mengulang masa-masa dimana kita berdua dipertemukan oleh takdir yang bernama hujan. Apa jadinya jika saat itu tidak turun hujan? Apa kita akan berada pada keadaan seperti ini?" tanya Azis
Ro hanya bungkam.
"Sejujurnya, hari ini aku berharap bahwa ada baiknya waktu itu hujan tidak perlu turun."
Pernyataan Azis barusan membuat Ro cukup terkejut.
"Setidaknya, jika waktu itu hujan tidak turun, aku tidak perlu menyakiti kamu seperti ini. Kamu juga tidak perlu membenci aku seperti sekarang ini. Seperti apa yang kamu bilang, kita pasti akan jauh lebih bahagia jika tidak bersama."
Azis mengalihkan pandangannya ke Ro. Wanita itu tampak masih teguh dengan pendiriannya. Perkataan Azis barusan bahkan tidak menyentuh hatinya sama sekali.
"Namun bagaimana, jika sebenarnya kita memang telah ditakdirkan untuk bersama sekalipun hujan tak turun saat itu? Apakah kita akan sangat bahagia saat ini? Atau mungkin sebaliknya?"
"Aku tidak akan melihat masa lalu, untuk menjadi diriku yang sekarang. Hari ini, siapa aku dan siapa kamu bukanlah hasil dari masa lalu, melainkan hasil dari proses yang sama-sama kita jalani. Masa laluku, itu hanya aku yang punya. Begitu juga dengan masa lalumu, hanya kamu yang memiliki itu."
"Lalu..." Azis mengeraskan suaranya
"Bagaimana dengan masa lalu yang pernah kita miliki, siapa yang berhak memiliki itu?"
Ro tak bisa menjawab apapun. Ia kembali memalingkan wajahnya.
"Aku menghargai masa yang terjadi saat ini, tetapi aku juga perlu mempersiapkan masa depanku. Namun, bukan berarti aku melupakan masa lalu. Oleh karena itu, aku menyadari bahwa keegoisanku dan segala hal yang buruk pada diriku telah membuatmu terluka, kamu sakit hati sehingga lebih berpikir bahwa perpisahan akan membuatmu lebih bahagia dan aku juga tak perlu menambah dosaku yang sudah menggunung itu. Begitu 'kan?"
"Dosamu itu bukan tanggung jawabku, bukan pula tanggung jawabmu terhadapku, tetapi tanggung jawabmu kepada Tuhan."
"Jadi, jangan pernah membicarakan soal dosa denganku." Ro berkata tegas
Azis menghela napas dan tangannya sedari tadi juga tidak bisa diam. Ia mencoba memejamkan matanya sejenak. Menarik napas dan menghembuskannya sebanyak tiga kali. Sesaat kemudian, ia kembali membuka matanya lalu memalingkan pandangannya ke arah Ro. Azis tersenyum tipis. Ia lalu memalingkan pandangannya lagi ke depan.
"Bagaimana jika kita melupakan itu semua? Memperbaiki yang masih tersisa sampai saat ini?" ujar Azis
"Kita masih saling membutuhkan satu sama lain. Bukan?"
Mereka saling menatap satu sama lain dengan ekspresi yang berbeda-beda.
"Berpisah di tengah jalan, takkan membuat kita sama-sama bahagia. Aku sudah merenungi segalanya kemarin dan itu menyadarkan tentang satu hal, aku ingin terus mendayung perahu yang sama denganmu. Aku tak ingin melakukannya dengan yang lain." Azis menegaskan kata-katanya
"Apa arti kebahagiaan buat kamu, Zis?" Ro menyorot tajam
"Bagaimana dengan kamu sendiri? Apa arti kebahagiaan buatmu adalah ketika tidak bersamaku? Kamu bahagia tanpa aku?" suara Azis mulai meninggi
Ro hanya diam.
"Berarti benar, kamu hanya bahagia tanpa aku. Aku bukan kebahagiaanmu." Azis menitihkan air mata
"..."
"Maaf, Ro. Aku yang memang gagal dalam hubungan ini. Aku tak bersungguh-sungguh padamu. Aku tak mampu melakukan tugasku dengan baik. Maafkan aku. Maafkan aku."
"Aku butuh waktu untuk memikirkan ini. Untuk mengklarifikasi benar atau tidaknya pernyataan kamu barusan. Aku tak ingin mengikuti perasaan."
"Baiklah, aku akan datang jika kamu yang memintaku untuk datang kemari. Assalamu'alaikum."
"Wa'alakumussalam."
 Lagi, Azis terpaksa pergi dari rumah Ro dengan tangan hampa. Tetapi setidaknya, ia sudah berani mengungkapkan kesalahannya hari ini.
***


 Pengarang : Dis Yosri
Share:

Minggu, 04 Juni 2017

Jalan Menuju Iman

Oleh : Ahmad Amjad Muzani

Ada yang bilang bahwa apa yang kita imani saat ini hanyalah warisan. Saat masih anak-anak dulu kita mengetahui pokok-pokok akidah seperti rukun iman melalui apa yang diajarkan guru TPA ataupun guru agama di sekolah. Hal itu kemudian kita hafalkan dan dijadikan pedoman dalam meniti kehidupan ini. Namun seiring usia kita yang semakin dewasa terkadang muncul pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai diri kita sebagai manusia. Setidaknya ada 3 pertanyaan fundamental yang mungkin pernah terbesit dalam benak kita dan membuat tidak tenang, yaitu: (1) sebenarnya dari mana manusia berasal?; (2) untuk apa manusia ada/hidup?; (3) akan kemana manusia setelah kehidupan ini?.
Jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut erat kaitanya dengan akidah seseorang yang dijadikanya sebagai “landasan hidup”. Ia akan meniti kehidupan di muka bumi ini berdasarkan “landasan” tersebut terlepas apakah jawaban tersebut benar atau salah. Bahkan kalau bisa ia akan mengajak orang lain untuk mengikuti landasan hidupnya. Manusia di bumi ini ternyata memiliki jawaban yang berbeda-beda atas ketiga pertanyaan tersebut. Misalnya sebagai berikut:
1. Seseorang/kelompok menjawabnya sebagai berikut, “(1) kehidupan (alam semesta termasuk manusia didalamnya) ini ada dengan sendirinya (secara spontan); (2) manusia berasal dari tanah/materi dan kelak akan menjadi materi lagi sehingga manusia hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia mampu hidup; (3) setelah kehidupan manusia tidak akan ada pertanggungjawaban”. Maka mereka akan hidup didunia ini dengan aturan yang dibuatnya sendiri dan standar baik/buruknya ditentukan sendiri.
2. Sementara seseorang/kelompok lain menjawabnya sebagai berikut, “(1) dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta yang mengadakan seluruh alam termasuk dirinya; (2) manusia diberi tugas/amanah kehidupan selama hidup di dunia; (3) kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh perbuatanya di dunia”. Maka mereka akan memiliki standar baik/buruk serta hidup berdasarkan aturan Sang Pencipta.
Seperti itulah dua contoh “landasan kehidupan” yang diimani seseorang atau kelompok. Namun pertanyaanya adalah, bagaimana jawaban yang benar atas permasalahan ini?.
Pemecahan yang benar atas permasalahan ini tidak akan terbentuk kecuali dengan pemikiran yang jernih dan menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan serta hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini. Ketika kita berfikir ada 4 komponen yang harus dimiliki, yaitu: otak yang sehat, realita/fakta yang terindra (al-waqi’ al-mahsusah), alat indra (al-hawas), dan informasi-informasi sebelumnya (al-maklumat as-saabiqah).
Akal pikiran manusia hanya dapat menjangkau tiga hal, yaitu berpikir tentang manusia itu sendiri, alam semesta dan kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah (tidak dapat berbuat sesuatu dengan dirinya sendiri), serba kurang dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia, ia terbatas sifatnya karena tumbuh dan berkembang tergantung terhadap segala sesuatu yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Manusia sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya menurut jangkauan panca indra kenyataanya bersifat terbatas, lemah dan butuh kepada yang lain (seperti makanan, air, udara, dan sebagainya). Begitu pula halnya dengan kehidupan (nyawa), ia bersifat terbatas pula, sebab penampakan/perwujudanya bersifat individual semata, dan apa yang dapat disaksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu individu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula alam semesta juga bersifat terbatas. Sebab alam semesta hanyalah merupakan himpunan dari benda-benda di bumi dan angkasa dimana setiap benda tersebut memang bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi alam semesta pun bersifat terbatas.
Kini jelaslah bahwa manusia, kehidupan dan alam semesta, ketiganya bersifat terbatas. Sesuatu yang terbatas pasti ada yang membatasi, karena jika tidak ada yang membatasi maka sifat ketiganya harus tidak terbatas (dan hal tersebut tidak mungkin). Satu kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa ada sesuatu yang membatasi semua yang bisa kita indera (kebenaran) atau dengan kata lain keberadaan sesuatu yang membatasi manusia, alam semesta dan kehidupan bersifat wajibul wujud (wajib adanya) dan mutlak keberadaanya. Kita biasa menyebut-Nya sebagai Sang Pencipta (al-Khaliq).
Masalah selanjutnya adalah bagaimana makhluk, dalam hal ini manusia mengenal al-Khaliq tersebut dan siapakah Dia?. Maka hanya al-Khaliq saja lah yang dapat memberikan petunjuk kepada umat manusia melalui firman-Nya. Sehingga langkah pertama adalah membuktikan bahwa al-Qur’an benar-benar berasal dari al-Khaliq tersebut. Suatu fakta bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga dalam hal ini hanya terdapat 3 kemungkinan terkait al-Qur’an, yaitu: (1) kitab itu merupakan karangan bangsa Arab, (2) kitab itu merupakan karangan Nabi Muhammad SAW, atau (3) kitab itu memang berasal dari al-Khaliq.
Pertama, al-Qur’an merupakan karangan bangsa arab merupakan kemungkinan yang bathil. Karena di dalam al-Qur’an sendiri terdapat tantangan kepada bangsa arab untuk menghasilkan karya yang serupa, akan tetapi mereka tidak juga berhasil. Sebagaimana tertera dalam ayat berikut:
Description: huud_13
Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat al-Qur’an itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggilah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”. [QS. Huud: 13]
Description: yunuus 10_38
Atau (patutkah) mereka mengatakan “Muhammad membuat-buatnya. Katakanlah: (Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggilah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar”. [QS. Yunus: 38]
Description: al baqarah 2_23
dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat(saja) yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. [al-Baqarah: 23]
Adapun kemungkinan kedua, bahwa al-Qur’an itu karangan Muhammad SAW adalah kemungkinan yang bathil pula. Sebab Nabi Muhammad orang arab juga, selama bangsa arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa maka begitu pula Muhammad SAW. Jelaslah bahwa al-Qur’an bukan karanganya. Hal tersebut diperkuat dengan banyaknya hadis-hadis shahih dan mutawatir dari Rasulullah, yang apabila hadis tersebut dibandingkan dengan ayat al-Qur’an maka tidak dijumpai adanya kemiripan gaya bahasa. Sekeras apapun seseorang menciptakan gaya bahasa akan terdapat kemiripan diantaranya. Jadi karena tidak ada kemiripan gaya bahasa al-Qur’an dan Hadis, maka al-Qur’an jelas bukan perkataan Muhammad SAW.
Setelah kedua kemungkinan sebelumnya terbantahkan, kini hanya tinggal satu kemungkinan yaitu bahwa Al-Qur’an berasal dari Sang Pencipta yaitu Allah SWT. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang dipelihara/dijaga keaslianya langsung oleh Allah dan sekaligus berfungsi sebagai penyempurna dan penghapus syari’at-syari’at nabi dan rasul sebelumnya. Allah SWT berfirman:
Description: al-hijr-9
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”. [al-Hijr: 9]

Al-Qur’an telah mampu membuat revolusi mental dan sosial serta mengubah dan menuntun pemikiran manusia selama empat belas abad. Cukuplah bukti bahwa mukjizat al-Qur’an telah mampu menyebabkan orang menjadi beriman. Bangsa yang buta huruf dan hidup dalam kegelapan jahiliyah telah berubah menjadi bangsa yang berilmu, berperadaban tinggi serta mampu memimpin dunia. Pengakuan akan kebenaran al-Qur’an juga dicetuskan para cendikiawan barat dari berbagai disiplin ilmu. Sebagian mereka telah mengakui bahwa al-Qur’an bersumber dari Sang Pencipta, apalagi setelah banyak ayat yang terbukti sesuai dengan berbagai penemuan baru pada abad modern ini. {disarikan dari kitab Nizham Al Islam, karya Taqiyuddin An Nabhani}


Share: