Senin, 17 Juli 2017

Ibu, Aku Takut menjadi Seorang Guru


Oleh Friska

Delapan belas tahun usia ku telah kulalui melihat secuil hingar bingar dunia ini. Aku hanyalah seorang anak desa biasa, yang jauh dari pusat kota. Anak desa yang mempunyai impian yang sederhana yakni menjadi seorang guru. Entah mengapa, bagi diriku yang notabenenya anak desa menjadi guru adalah sesuatu yang sangat membanggakan. Sama halnya dengan anak-anak lain yang ketika ditanya tentang cita-cita mereka, aku selalu mantap dengan penuh kepercayaan dan kulantangkan suaraku bahwasanya aku sangat ingin menjadi guru. Bagiku menjadi guru seperti mempunyai daya tarik tersendiri sama halnya ketika anak-anak seusiaku melantangkan cita-citanya menjadi dokter, pilot, perawat bahkan seorang artis.
            Kulangkahkan kaki menyusuri jalanan kota istimewa ini, mataku melihat kendaraan yang berlalu lalang di jalanan yang sangat padat. Aku berjalan di bawah langit yang sedang gerimis, jalanku masih santai saja. Menikmati rintik-rintik yang menetes di bajuku. Ada rasa senang, teringat masa kecil yang selalu berlarian dengan teman-teman sebaya saat hujan turun. Pikiranku melayang pada masa lalu, masa-masa yang terkadang mengundang tangis di mata ini. Rasanya senang ketika harus berjalan dibawah rintik hujan, aku bisa bebas menangis tanpa ada yang tahu bahwa sejatinya aku menangis. Perlahan-lahan, aku berjalan menuju shelter bus, mengeluarkan selembar uang lima ribuan dari dompet lusuhku. Menanti bus yang mengantarkanku ke terminal. Berdiri di salah satu sudut shelter sambil terus menatap rintik hujan yang semakin deras turun didepanku. Di depanku, ada sekelompok anak muda yang usianya mungkin masih belasan tahun, muka-mukanya masih terlihat bahwa mereka duduk di bangku SMA. Mereka berempat asyik bercerita tentang aktivitas sekolahnya pagi tadi. Mereka asyik bercerita perkara akan melanjutkan kemana setelah masa putih abu-abu itu. Rasanya pengin nangis saat mengingat masa-masa itu. Masa-masa dulu aku sering curhat perkara kemana aku melanjutkan perjalanan mencari ilmu ini. hingga akhirnya aku sampai pada titik ini, titik dimana saat rasa tangis sudah selalu menyertai, titik dimana saat rasanya ingin sekali melihat tulisan “Selamat Anda Di terima di .....”, titik dimana perjuangan doa dan usaha yang tak kalah hebatnya, titik dimana harus mengeluarkan uang lebih dari yang ditargetkan, titik dimana harus bolak-balik Jogja-Banyumas, titik dimana aku sangat menghargai apa itu artinya perjuangan. Dan, pada akhirnya aku dinyatakan lolos sebagai mahasiswa mandiri di salah satu universitas di kota pelajar ini. Entah bahagia atau apa rasanya, sampai sekarang aku tak tahu untuk perkara yang satu itu. Sampai sekarang aku masih mencari rasa apa yang seharusnya ada dalam hidupku saat ini.
            Ku dengarkan cerita mereka, rasanya seperti mendengar cerita sendiri. Terbayang akan masa lalu. Terbayang akan masa-masa menjatuhkan pilihan saat itu. Pikiranku melayang pada sembilan bulan terakhir ini, masa-masa yang menyenangkan juga menyedihkan. Sedih rasanya mengenang masa-masa sulit menemukan tempat perkuliahan negeri. Serasa ada bulir-bulir air mata yang menetes tanpa sengaja di wajahku yang kusam ini. Serasa teringat perjuangan dulu, perjuangan daftar sana-sini, pedihnya ditolak hingga rasanya putus asa. Rasanya dunia terlalu kejam. Aku hanya tertawa kecil membayangkan semua yang dulu pernah kulalui, perihnya melalui perjuangan panjang bak seorang pejuang yang menenteng senjata mereka. Tapi, satu yang selalu kuingat dari semua perjuangan panjang ini bahwa ada mimpi yang harus diperjuangkan. Bahwa ada lelah yang harus dibayarkan sebelum senyum kebahagian tergambar diwajah orang-orang tersayang.
            Lamunanku buyar saat bus yang kutunggu akhirnya datang. Berebut satu dengan yang lainnya untuk mendapatkan tempat duduk di bus, jangankan tempat duduk asal bisa berdiri saja aku langsung ikut. Kuperhatikan di sekelilingku ada sebuah bangku kosong dipojok bus ini. Disampingku ada seorang laki-laki yang usianya sekitar 40 an. Aku duduk sembari melemaskan kakiku yang rasanya mau kram ini. Ku letakkan tas punggungku di lantai bus. Aku menyandarkan punggung ke bagaian belakang kursi. Kuarahkan mataku ke luar jendela, melihat sisa-sisa gerimis yang membasahi jalanan kota ini. Suasana bus agak hening, hingga akhirnya laki-laki di sebelahku mengajakku mengangkat suara. Ya, lebih tepatnya bisa dilihat bahwa laki-laki di sebelahku ada seorang bapak yang sedang memangku anaknya. Anaknya perempuan mungkin dia masih SD sekarang, mukanya agak lusuh mungkin dia capek di jalan.
“Mbak, habis pulang kuliah ya ?”
Aku mengangguk sembari tersenyum kepada bapak berbaju merah ini. Kuperhatikan anak yang dipangkuannya. Dia pun melemparkan senyuman ke arahku sambil mengucek-ucekan matanya yang seperti sudah mengantuk itu.
“Wah, ambil jurusan apa, mbak ?”
“Ambil kependidikan, pak.”
“Keren itu, mbak. Pengen jadi guru ya, mbak ?”
“Iya, pak.” Aku tersenyum sambil mengarahkan pandangan ke anak perempuannya.
“Kenapa nggak jadi dokter apa perawat aja, mbak ? Kan gajinya lumayan, mbak. Kalau guru mah standar-standar aja, mbak.”
Aku terdiam sebentar, memikirkan kalimat apa yang seharusnya keluar dari mulutku ini. aku takut menyinggung bapak ini.
“Penginnya jadi guru, pak.” Aku tambahkan senyuman dan tawaan kecil agar suasana tidak terlalu kaku.
“Wah, kalau udah mantep dari hati itu bagus, mbak. Sekarang kalau jadi guru harus ekstra sabar, mbak. Sama muridnya juga sama orang tua nya, mbak. Ngingetin ke muridnya aja kalau ngga dengan cara halus bahaya, mbak. Bisa-bisa dibilang kekerasan dalam mengajar. Nanti ujung-ujungnya malah dituntut sana-sini, mbak.”
Aku terdiam sembari mendengarkan bapak ini bercerita padaku. Aku memang begini lebih suka mendengarkan daripada bercerita pada orang yang baru kutemui dimanapun.
“Saya punya temen, mbak. Dia seorang guru, ngajar di salah satu daerah agak jauh si dari perkotaan tapi juga ngga pelosok-pelosok amat masih di jawa lah, mbak. Rasanya saya pengen nangis kalau cerita soal dirinya. Dari dulu dia mantep banget buat jadi guru, cerdas banget orangnya, ngga nyangka aja dia akhirnya milih jadi guru. Sabar banget orangnya, dulu aja ngajarin saya sampe sayanya aja bosen dianya masih aja telaten banget. Tapi, kasihan belum lama ini dia punya pengalaman yang pahit. Malah sangat pahit kalau menurut saya, mbak. Dia ditodong golok sama bapaknya muridnya. Padahal masalahnya sepele, cuma gara-gara dia ngingetin ke muridnya suruh diem biar yang lain bisa paham sama materi yang lagi diterangin di depan. Eh, tau-taunya waktu pulang ngajar dia dihadang, dijalanan sepi lagi, ngga bisa minta tolong sama warga sekitar....”
Aku memperhatikan bapak ini, kulihat matanya berkaca-kaca menceritakan kondisi temannya. Aku yakin pasti ini bukan sekedar teman biasa.
Mengambil napas panjang bapak ini pun melanjutkan ceritanya sambil terus mengusap-usap kepala anak perempuannya.
“Akhirnya, setelah bernegosiasi dengan bapak muridnya nyawa teman saya selamat, mbak.”
Sontak saya langsung mengucap, “Alhamdulillah.”
“Tapi, ngga gratis, mbak. Dia harus membayar uang ke bapak muridnya. Padahal saya tau sendiri gimana kondisi keluarganya, rumah aja mbak kalo hujan selalu bocor sana-sini. Buat makan aja pas-pas an. Tapi, mau gimana lagi demi nyawanya selamat dia harus membayar itu. Ada masa depan anak-anaknya dan istrinya yang lebih harus diperjuangkan, mbak.”
Tak kusadari ternyata ada bulir-bulir air mata yang menetes pada wajah bapak ini. Tubuhku merinding mendengar semua itu. Apa begitu semengerikan dunia mengajar ini ?
“Tapi, tenang aja, mbak. Ngga semua orang tua murid seperti itu kok, mbak. Banyak dari mereka yang mengerti bahwa menyanyangi anaknya bukan dengan memanjakannya. Sebenernya temen saya juga ngga salah si, cuma si bapaknya aja yang keterlaluan. Dia ngingetin kan juga buat kebaikan anaknya biar bisa paham sama pelajarannya. Biar jadi anak yang pinter. Sampai sini aja ya, mbak cerita-ceritanya. Jangan takut buat maju terus sama cita-citanya, mbak. Semangat buat jadi calon guru, mbak. Bapak doakan semoga sukses selalu, mbak.” Tersenyum sambil menggendong anaknya dan membawa tas di tangan satunya lagi.
Mataku terus memperhatikan bapak itu sampai akhirnya si bapak turun di salah satu shelter bus dan menghilang ditengah kerumunan penumpang-penumpang yang lain. Aku masih saja terpaku dengan cerita yang bapak itu ceritakan. Memang sebenarnya ada rasa takut yang menyelimuti hatiku, ada rasa bimbang dalam jiwaku, ada rasa ragu dalam cita-citaku kali ini. Rasanya ingin cepat sampai rumah dan memeluk Ibu serta menceritakan apa yang telah ku dengar ini. Aku terdiam sembari melihat tetesan-tetesan gerimis yang menetes di kaca bus yang kutumpangi ini. Pikiranku entah melayang kemana saja kali ini.
**
Jam telah menunjukkan pukul 19.30, bus yang kutumpangi masih saja meluncur ke tempat asalku. Masih kupandangi ke luar jendela bus. Begitulah diriku, yang selalu senang melihat sesuatu ke luar. Lebih suka merasa daripada bercerita. Orang bilang diriku ini introvert tapi ya mau gimana lagi, inilah diriku yang nyaman dengan kondisi saat ini. Tapi, entah mengapa cerita bapak itu masih saja membuatku ragu, masih saja membuat takut dan masih saja membuat rindu dengan kata-kata yang menenangkan dari ibuku. Ah, aku pengin cepet sampai ke rumah, rindu untuk memeluk ibu sepuasku.
Bus pun akhirnya berhenti tepat di gang masuk rumahku. Kususuri jalanan yang sudah agak sepi, dengan penerangan seadanya. Dan, kini pikiranku hanya satu, yaitu pada cerita bapak itu. Ingin rasanya mendapat pencerahan yang menguatkan diriku lagi setelah ini. Berharap aku akan mendapatkannya dari Ibu nanti.
Ku ketuk pintu rumah, ku ucapkan salam. Terdengar balasan dari balik pintu. Suara ibu sudah terdengar dari balik pintu ini. Begitu pintu terbuka, aku langsung menghambur memeluk bapak dan ibu ku. Ku cium mereka semua. Rasanya jarang-jarang aku seperti ini. Hidup di kota orang membuat diriku menyimpan terlalu banyak rindu untuk mereka semua.
Selepas melepas kangen dengan mereka semua, menjadi kebiasaanku masuk kamar dan melihat sekeliling kamar. Rapi, ya siapa lagi yang merapikannya kalau bukan bapak dan ibuku. Ku lihat beberapa lembar tulisan tanganku yang sengaja ku tempel di tembok kamarku. Semacam penyemangat bagi diri sendiri saat bahagia maupun di saat lelah menyapa.
Setelah puas bernostalgia dengan kamarku, aku melihat ibu sedang menonton televisi sendiri di ruang tengah. Aku langsung duduk di samping ibu sambil memperhatikan acara televisi yang sedang ditontonnya. Tiba-tiba, aku pindah posisi sambil tiduran di kasur lantai berbantalkan kaki ibu. Aku bercerita mengenai hal-hal kecil yang terjadi di kampus. Kuceritakan semuanya dari a sampai z. Hingga akhirnya rasa penasaranku dengan cerita bapak itu pun keluar dari mulutku yang tiba-tiba menjadi cerewet ini.
“Bu, kok aku jadi takut ya kalo jadi guru ?”
“Lho kok takut, emangnya kenapa ? Takut sama muridnya ?”
Aku mengangguk. Dan, ibu pun tertawa tapi entah karena anggukan diriku apa karena sinetron yang sedang ditontonnya.
“Sama murid kok takut ? Murid kan jadi bahanmu, bahan buat menularkan ilmu yang kamu punya, nduk.”
Aku masih saja tersenyum, belum mau mengungkap apa yang sebenarnya ada dalam pikiranku saat ini.
“Ibu ngga tau apa saja yang sudah kamu lalui di luar sana, nduk. Apa yang omongan yang telah kamu tangkap dengan telingamu, apa saja yang telah membuatmu takut dan ragu dengan keyakinanmu. Dan, yang jelas takutmu ngga beralasan, nduk.” Sambil mengusap-usap kepalaku.
“Bu, sekarang kalo jadi guru emang ngeri banget ya ?”
“Ngeri kenapa ? Cerita aja, nduk. Biar hatinya lega. Ayo, cerita sama ibu.”
“Gini loh, bu. Tadi pas pulang naik bus ada bapak-bapak cerita soal guru. Pokoknya ceritanya ngeri lah, bu. Sampe harus bertarung sama nyawanya gara-gara ngingetin muridnya, bu. Padahal kan itu udah jadi kewajiban guru, bu.”
“Nduk, kalo dapet cerita jangan langsung diserap mentah-mentah. Diambil buat dijadiin pembelajaran bukan buat dijadiin alasan memperkuat rasa takutmu. Jadi, guru itu tugas mulia. Perkara mengajar itu sulit, nduk. Ngga semua orang bisa melakukannya. Banyak yang jadi guru tapi banyak juga yang ngajar ngga pake hati. Kalo namanya udah sreg mau gimanapun tetap kuat sama pendiriaannya. Bukti orang yang kamu ceritain itu tetap jadi guru kan, walaupun nyawanya pernah jadi taruhannya. Sama dengan kamu, sekarang kamu harus menguatkan pendiriannmu, menguatkan impianmu. Ngga boleh gampang goyah hanya karena angin terpaan kecil. Justru harusnya jadi bahan pembelajaran, nduk. Mengajar membuat kita mengerti akan dunia mereka, membuat kita mengerti akan kepercayaan para orang tua yang menitipkan anaknya pada kita. Membuat kita belajar dari mereka, yang selalu tersenyum lepas tanpa beban, yang harus menjalani kehidupan ini dengan senyuman. Yakinkan dirimu lagi, nduk buat berproses menjadi guru. Bukan hanya sekedar guru saja tapi mampu menjadi panutan dan teladan yang berkharisma di depan murid-muridmu kelak. Semangat berproses, nduk.  Ibu selalu mendoakan yang terbaik buat anak ibu yang satu ini.”
Aku bangkit dari posisiku lalu memeluk ibu. Sambil terharu mendengar kata-kata ibu yang selalu menancap kuat dalam hati. Terima kasih ibu atas segala nasihatnya. Aku sayang Ibu.
Hingga pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah penguatan dari dalam diri sendiri. Bahwa mengenai tugas seorang guru adalah tugas mulia, tugas yang berat, karena lewat gurulah calon-calon pemimpin bangsa akan dibentuk. Lewat karakter yang selalu ditanamkan, lewat etika, moral dan akhlak yang selalu ditekankan. Semoga akan bisa berproses menjadi guru yang menginspirasi dan memotivasi untuk selalu bergerak kearah kebaikan.
~SELESAI~

Share:

0 komentar:

Posting Komentar