Oleh Friska |
Delapan belas tahun usia ku telah kulalui melihat secuil hingar
bingar dunia ini. Aku hanyalah seorang anak desa biasa, yang jauh dari pusat
kota. Anak desa yang mempunyai impian yang sederhana yakni menjadi seorang guru.
Entah mengapa, bagi diriku yang notabenenya anak desa menjadi guru adalah
sesuatu yang sangat membanggakan. Sama halnya dengan anak-anak lain yang ketika
ditanya tentang cita-cita mereka, aku selalu mantap dengan penuh kepercayaan
dan kulantangkan suaraku bahwasanya aku sangat ingin menjadi guru. Bagiku
menjadi guru seperti mempunyai daya tarik tersendiri sama halnya ketika
anak-anak seusiaku melantangkan cita-citanya menjadi dokter, pilot, perawat
bahkan seorang artis.
Kulangkahkan kaki
menyusuri jalanan kota istimewa ini, mataku melihat kendaraan yang berlalu
lalang di jalanan yang sangat padat. Aku berjalan di bawah langit yang sedang
gerimis, jalanku masih santai saja. Menikmati rintik-rintik yang menetes di
bajuku. Ada rasa senang, teringat masa kecil yang selalu berlarian dengan
teman-teman sebaya saat hujan turun. Pikiranku melayang pada masa lalu,
masa-masa yang terkadang mengundang tangis di mata ini. Rasanya senang ketika
harus berjalan dibawah rintik hujan, aku bisa bebas menangis tanpa ada yang
tahu bahwa sejatinya aku menangis. Perlahan-lahan, aku berjalan menuju shelter
bus, mengeluarkan selembar uang lima ribuan dari dompet lusuhku. Menanti
bus yang mengantarkanku ke terminal. Berdiri di salah satu sudut shelter sambil
terus menatap rintik hujan yang semakin deras turun didepanku. Di depanku, ada
sekelompok anak muda yang usianya mungkin masih belasan tahun, muka-mukanya
masih terlihat bahwa mereka duduk di bangku SMA. Mereka berempat asyik
bercerita tentang aktivitas sekolahnya pagi tadi. Mereka asyik bercerita
perkara akan melanjutkan kemana setelah masa putih abu-abu itu. Rasanya pengin
nangis saat mengingat masa-masa itu. Masa-masa dulu aku sering curhat perkara
kemana aku melanjutkan perjalanan mencari ilmu ini. hingga akhirnya aku sampai
pada titik ini, titik dimana saat rasa tangis sudah selalu menyertai, titik
dimana saat rasanya ingin sekali melihat tulisan “Selamat Anda Di terima di
.....”, titik dimana perjuangan doa dan usaha yang tak kalah hebatnya, titik
dimana harus mengeluarkan uang lebih dari yang ditargetkan, titik dimana harus
bolak-balik Jogja-Banyumas, titik dimana aku sangat menghargai apa itu artinya
perjuangan. Dan, pada akhirnya aku dinyatakan lolos sebagai mahasiswa mandiri
di salah satu universitas di kota pelajar ini. Entah bahagia atau apa rasanya,
sampai sekarang aku tak tahu untuk perkara yang satu itu. Sampai sekarang aku
masih mencari rasa apa yang seharusnya ada dalam hidupku saat ini.
Ku dengarkan
cerita mereka, rasanya seperti mendengar cerita sendiri. Terbayang akan masa
lalu. Terbayang akan masa-masa menjatuhkan pilihan saat itu. Pikiranku melayang
pada sembilan bulan terakhir ini, masa-masa yang menyenangkan juga menyedihkan.
Sedih rasanya mengenang masa-masa sulit menemukan tempat perkuliahan negeri. Serasa
ada bulir-bulir air mata yang menetes tanpa sengaja di wajahku yang kusam ini.
Serasa teringat perjuangan dulu, perjuangan daftar sana-sini, pedihnya ditolak
hingga rasanya putus asa. Rasanya dunia terlalu kejam. Aku hanya tertawa kecil
membayangkan semua yang dulu pernah kulalui, perihnya melalui perjuangan
panjang bak seorang pejuang yang menenteng senjata mereka. Tapi, satu yang
selalu kuingat dari semua perjuangan panjang ini bahwa ada mimpi yang harus
diperjuangkan. Bahwa ada lelah yang harus dibayarkan sebelum senyum kebahagian
tergambar diwajah orang-orang tersayang.
Lamunanku buyar
saat bus yang kutunggu akhirnya datang. Berebut satu dengan yang lainnya untuk
mendapatkan tempat duduk di bus, jangankan tempat duduk asal bisa berdiri saja
aku langsung ikut. Kuperhatikan di sekelilingku ada sebuah bangku kosong
dipojok bus ini. Disampingku ada seorang laki-laki yang usianya sekitar 40 an.
Aku duduk sembari melemaskan kakiku yang rasanya mau kram ini. Ku letakkan tas
punggungku di lantai bus. Aku menyandarkan punggung ke bagaian belakang kursi.
Kuarahkan mataku ke luar jendela, melihat sisa-sisa gerimis yang membasahi
jalanan kota ini. Suasana bus agak hening, hingga akhirnya laki-laki di
sebelahku mengajakku mengangkat suara. Ya, lebih tepatnya bisa dilihat bahwa
laki-laki di sebelahku ada seorang bapak yang sedang memangku anaknya. Anaknya
perempuan mungkin dia masih SD sekarang, mukanya agak lusuh mungkin dia capek
di jalan.
“Mbak, habis pulang kuliah ya ?”
Aku mengangguk sembari tersenyum kepada bapak berbaju merah ini.
Kuperhatikan anak yang dipangkuannya. Dia pun melemparkan senyuman ke arahku
sambil mengucek-ucekan matanya yang seperti sudah mengantuk itu.
“Wah, ambil jurusan apa, mbak ?”
“Ambil kependidikan, pak.”
“Keren itu, mbak. Pengen jadi guru ya, mbak ?”
“Iya, pak.” Aku tersenyum sambil mengarahkan pandangan ke anak
perempuannya.
“Kenapa nggak jadi dokter apa perawat aja, mbak ? Kan gajinya
lumayan, mbak. Kalau guru mah standar-standar aja, mbak.”
Aku terdiam sebentar, memikirkan kalimat apa yang seharusnya keluar
dari mulutku ini. aku takut menyinggung bapak ini.
“Penginnya jadi guru, pak.” Aku tambahkan senyuman dan tawaan kecil
agar suasana tidak terlalu kaku.
“Wah, kalau udah mantep dari hati itu bagus, mbak. Sekarang kalau
jadi guru harus ekstra sabar, mbak. Sama muridnya juga sama orang tua nya,
mbak. Ngingetin ke muridnya aja kalau ngga dengan cara halus bahaya, mbak.
Bisa-bisa dibilang kekerasan dalam mengajar. Nanti ujung-ujungnya malah
dituntut sana-sini, mbak.”
Aku terdiam sembari mendengarkan bapak ini bercerita padaku. Aku
memang begini lebih suka mendengarkan daripada bercerita pada orang yang baru
kutemui dimanapun.
“Saya punya temen, mbak. Dia seorang guru, ngajar di salah satu
daerah agak jauh si dari perkotaan tapi juga ngga pelosok-pelosok amat masih di
jawa lah, mbak. Rasanya saya pengen nangis kalau cerita soal dirinya. Dari dulu
dia mantep banget buat jadi guru, cerdas banget orangnya, ngga nyangka aja dia
akhirnya milih jadi guru. Sabar banget orangnya, dulu aja ngajarin saya sampe
sayanya aja bosen dianya masih aja telaten banget. Tapi, kasihan belum lama ini
dia punya pengalaman yang pahit. Malah sangat pahit kalau menurut saya, mbak.
Dia ditodong golok sama bapaknya muridnya. Padahal masalahnya sepele, cuma gara-gara
dia ngingetin ke muridnya suruh diem biar yang lain bisa paham sama materi yang
lagi diterangin di depan. Eh, tau-taunya waktu pulang ngajar dia dihadang,
dijalanan sepi lagi, ngga bisa minta tolong sama warga sekitar....”
Aku memperhatikan bapak ini, kulihat matanya berkaca-kaca
menceritakan kondisi temannya. Aku yakin pasti ini bukan sekedar teman biasa.
Mengambil napas panjang bapak ini pun melanjutkan ceritanya sambil
terus mengusap-usap kepala anak perempuannya.
“Akhirnya, setelah bernegosiasi dengan bapak muridnya nyawa teman
saya selamat, mbak.”
Sontak saya langsung mengucap, “Alhamdulillah.”
“Tapi, ngga gratis, mbak. Dia harus membayar uang ke bapak
muridnya. Padahal saya tau sendiri gimana kondisi keluarganya, rumah aja mbak
kalo hujan selalu bocor sana-sini. Buat makan aja pas-pas an. Tapi, mau gimana
lagi demi nyawanya selamat dia harus membayar itu. Ada masa depan anak-anaknya
dan istrinya yang lebih harus diperjuangkan, mbak.”
Tak kusadari ternyata ada bulir-bulir air mata yang menetes pada
wajah bapak ini. Tubuhku merinding mendengar semua itu. Apa begitu semengerikan
dunia mengajar ini ?
“Tapi, tenang aja, mbak. Ngga semua orang tua murid seperti itu
kok, mbak. Banyak dari mereka yang mengerti bahwa menyanyangi anaknya bukan
dengan memanjakannya. Sebenernya temen saya juga ngga salah si, cuma si
bapaknya aja yang keterlaluan. Dia ngingetin kan juga buat kebaikan anaknya
biar bisa paham sama pelajarannya. Biar jadi anak yang pinter. Sampai sini aja
ya, mbak cerita-ceritanya. Jangan takut buat maju terus sama cita-citanya,
mbak. Semangat buat jadi calon guru, mbak. Bapak doakan semoga sukses selalu,
mbak.” Tersenyum sambil menggendong anaknya dan membawa tas di tangan satunya
lagi.
Mataku terus memperhatikan bapak itu sampai akhirnya si bapak turun
di salah satu shelter bus dan menghilang ditengah kerumunan
penumpang-penumpang yang lain. Aku masih saja terpaku dengan cerita yang bapak
itu ceritakan. Memang sebenarnya ada rasa takut yang menyelimuti hatiku, ada
rasa bimbang dalam jiwaku, ada rasa ragu dalam cita-citaku kali ini. Rasanya
ingin cepat sampai rumah dan memeluk Ibu serta menceritakan apa yang telah ku
dengar ini. Aku terdiam sembari melihat tetesan-tetesan gerimis yang menetes di
kaca bus yang kutumpangi ini. Pikiranku entah melayang kemana saja kali ini.
**
Jam telah menunjukkan pukul 19.30, bus yang kutumpangi masih saja
meluncur ke tempat asalku. Masih kupandangi ke luar jendela bus. Begitulah
diriku, yang selalu senang melihat sesuatu ke luar. Lebih suka merasa daripada
bercerita. Orang bilang diriku ini introvert tapi ya mau gimana lagi,
inilah diriku yang nyaman dengan kondisi saat ini. Tapi, entah mengapa cerita
bapak itu masih saja membuatku ragu, masih saja membuat takut dan masih saja
membuat rindu dengan kata-kata yang menenangkan dari ibuku. Ah, aku pengin
cepet sampai ke rumah, rindu untuk memeluk ibu sepuasku.
Bus pun akhirnya berhenti tepat di gang masuk rumahku. Kususuri
jalanan yang sudah agak sepi, dengan penerangan seadanya. Dan, kini pikiranku
hanya satu, yaitu pada cerita bapak itu. Ingin rasanya mendapat pencerahan yang
menguatkan diriku lagi setelah ini. Berharap aku akan mendapatkannya dari Ibu
nanti.
Ku ketuk pintu rumah, ku ucapkan salam. Terdengar balasan dari
balik pintu. Suara ibu sudah terdengar dari balik pintu ini. Begitu pintu
terbuka, aku langsung menghambur memeluk bapak dan ibu ku. Ku cium mereka
semua. Rasanya jarang-jarang aku seperti ini. Hidup di kota orang membuat
diriku menyimpan terlalu banyak rindu untuk mereka semua.
Selepas melepas kangen dengan mereka semua, menjadi kebiasaanku
masuk kamar dan melihat sekeliling kamar. Rapi, ya siapa lagi yang merapikannya
kalau bukan bapak dan ibuku. Ku lihat beberapa lembar tulisan tanganku yang
sengaja ku tempel di tembok kamarku. Semacam penyemangat bagi diri sendiri saat
bahagia maupun di saat lelah menyapa.
Setelah puas bernostalgia dengan kamarku, aku melihat ibu sedang
menonton televisi sendiri di ruang tengah. Aku langsung duduk di samping ibu
sambil memperhatikan acara televisi yang sedang ditontonnya. Tiba-tiba, aku
pindah posisi sambil tiduran di kasur lantai berbantalkan kaki ibu. Aku
bercerita mengenai hal-hal kecil yang terjadi di kampus. Kuceritakan semuanya
dari a sampai z. Hingga akhirnya rasa penasaranku dengan cerita bapak itu pun
keluar dari mulutku yang tiba-tiba menjadi cerewet ini.
“Bu, kok aku jadi takut ya kalo jadi guru ?”
“Lho kok takut, emangnya kenapa ? Takut sama muridnya ?”
Aku mengangguk. Dan, ibu pun tertawa tapi entah karena anggukan
diriku apa karena sinetron yang sedang ditontonnya.
“Sama murid kok takut ? Murid kan jadi bahanmu, bahan buat
menularkan ilmu yang kamu punya, nduk.”
Aku masih saja tersenyum, belum mau mengungkap apa yang sebenarnya
ada dalam pikiranku saat ini.
“Ibu ngga tau apa saja yang sudah kamu lalui di luar sana, nduk.
Apa yang omongan yang telah kamu tangkap dengan telingamu, apa saja yang telah
membuatmu takut dan ragu dengan keyakinanmu. Dan, yang jelas takutmu ngga
beralasan, nduk.” Sambil mengusap-usap kepalaku.
“Bu, sekarang kalo jadi guru emang ngeri banget ya ?”
“Ngeri kenapa ? Cerita aja, nduk. Biar hatinya lega. Ayo, cerita
sama ibu.”
“Gini loh, bu. Tadi pas pulang naik bus ada bapak-bapak cerita soal
guru. Pokoknya ceritanya ngeri lah, bu. Sampe harus bertarung sama nyawanya
gara-gara ngingetin muridnya, bu. Padahal kan itu udah jadi kewajiban guru,
bu.”
“Nduk, kalo dapet cerita jangan langsung diserap mentah-mentah.
Diambil buat dijadiin pembelajaran bukan buat dijadiin alasan memperkuat rasa
takutmu. Jadi, guru itu tugas mulia. Perkara mengajar itu sulit, nduk. Ngga
semua orang bisa melakukannya. Banyak yang jadi guru tapi banyak juga yang
ngajar ngga pake hati. Kalo namanya udah sreg mau gimanapun tetap kuat sama
pendiriaannya. Bukti orang yang kamu ceritain itu tetap jadi guru kan, walaupun
nyawanya pernah jadi taruhannya. Sama dengan kamu, sekarang kamu harus
menguatkan pendiriannmu, menguatkan impianmu. Ngga boleh gampang goyah hanya
karena angin terpaan kecil. Justru harusnya jadi bahan pembelajaran, nduk.
Mengajar membuat kita mengerti akan dunia mereka, membuat kita mengerti akan
kepercayaan para orang tua yang menitipkan anaknya pada kita. Membuat kita
belajar dari mereka, yang selalu tersenyum lepas tanpa beban, yang harus
menjalani kehidupan ini dengan senyuman. Yakinkan dirimu lagi, nduk buat
berproses menjadi guru. Bukan hanya sekedar guru saja tapi mampu menjadi
panutan dan teladan yang berkharisma di depan murid-muridmu kelak. Semangat
berproses, nduk. Ibu selalu mendoakan
yang terbaik buat anak ibu yang satu ini.”
Aku bangkit dari posisiku lalu memeluk ibu. Sambil terharu
mendengar kata-kata ibu yang selalu menancap kuat dalam hati. Terima kasih ibu
atas segala nasihatnya. Aku sayang Ibu.
Hingga pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah penguatan dari dalam
diri sendiri. Bahwa mengenai tugas seorang guru adalah tugas mulia, tugas yang
berat, karena lewat gurulah calon-calon pemimpin bangsa akan dibentuk. Lewat
karakter yang selalu ditanamkan, lewat etika, moral dan akhlak yang selalu
ditekankan. Semoga akan bisa berproses menjadi guru yang menginspirasi dan
memotivasi untuk selalu bergerak kearah kebaikan.
~SELESAI~
0 komentar:
Posting Komentar