Sabtu, 27 Mei 2017

Selimut Kesengsaraan

Si rakyat jelata ...
Kau terlantar di bahu jalanan
Berjuang mengais untuk kehidupan
Tak ada gubuk, tak ada makanan
Semua hanya kesengsaraaan
            Ada cemas di dalam hati
            Menggebu menjadi sakti
            Jiwa raga juga tersakiti
            Karena tak bisa menikmati
Raut wajahmu penuh dengan belas kasihan
Tapi di bola matamu terpancarkan impian
Segala jiwa raga kau perjuangkan
Untuk masa depan yang menyenangkan
            Pagi, siang, malam kau tak istirahat
            Yang terpikir hanya raga yang sehat
            Tapi kau tak pernah berpikir untuk jahat
            Karena kau sadar itu perbuatan maksiat
Ya Ilahi
Kemana lagi kemakmuran itu pergi?
Tak ada kabar, tak ada lagi
Jurang kehidupan masih terasa lagi
Hanya kedukaan yang tak pergi
            Selimut metamorphosis takdir akan merubahnya
            Hanya tekad yang akan mewujudkannya
            Namun kehendak Tuhan yang akan menentukannya

            Supaya manusia tetap berjuang di jalan-Nya

Pengarang : Ernita Apriani
Share:

Sabtu, 20 Mei 2017

On Time

“Tuh kan bener, orang-orang kita memang nggak bisa kalau disuruh on time.” Seorang mahasiswa sampai ke tempat rapat sambil menggerutu.  Ia datang pukul 10.30. Rapat seharusnya dimulai pukul 10.00. Sudah menjadi kebiasaan di organisasi yang ia ikuti tersebut, rapat baru bisa dimulai satu jam dari jam yang tertulis di undangan. On time merupakan kata yang terlalu suci bagi mereka sehingga hanya satu dua saja yang sanggup melaksanakannya. Karena sudah hafal dengan kebiasaan ini, mahasiswa tadi sengaja datang terlambat dengan harapan ketika ia sampai, sudah banyak yang datang sehingga rapat bisa segera dimulai. Dengan begitu ia tidak perlu membuang-buang waktu dengan menunggu. Namun ternyata ia harus kecewa. Meskipun sudah berusaha telat ternyata masih ada yang lebih telat daripada dirinya.
Tidak hanya rapat saja. Hampir dalam setiap kegiatan yang mereka selenggarakan, entah itu seminar, diskusi, piknik, maupun makan-makan, tidak pernah ada yang bisa terlaksana sesuai jadwal dikarenakan para pelaksana kegiatan tidak sanggup datang tepat waktu. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Ketua organisasi memutar otak, mencari cara agar setiap kegiatan yang mereka selenggarakan bisa berjalan sesuai rencana. Akhirnya ia memutuskan untuk melakukan “penipuan”. Ia memiliki sebuah rencana yang licik. Ia akan memajukan jadwal setiap kegiatan untuk mengkompensasi para anggotanya yang tidak bisa on time. Jadi jika seharusnya kegiatan dimulai pukul 10.00, ia akan memerintahkan sekretarisnya untuk membuat pengumuman bahwa kegiatan dimulai pukul 9.00.
Ketua organisasi itu tersenyum penuh kemenangan. Ia benar-benar telah melaksanakan rencana liciknya itu. Hasilnya memang sungguh memuaskan. Sesuai rencana. Setiap kegiatan yang mereka selenggarakan termasuk rapat bisa berjalan dengan baik. Namun tidak selamanya. Anggota organisasi itu memang susah untuk on time, namun tidak semua. Tetap saja ada sebagian kecil yang sanggup melaksanakan titah suci itu. Lama kelamaan mereka menyadari bahwa mereka telah ditipu. Mereka sudah berangkat on time, sesuai dengan jam yang tertulis di undangan. Namun kini mereka tahu bahwa jam di undangan tersebut adalah bohong. Padahal mereka sudah meluangkan waktunya yang sangat berharga untuk datang on time. Tapi ternyata di tempat rapat mereka harus dizalimi. Yakni diminta untuk menunggu teman-temannya yang tidak on time.
Seiring berjalannya waktu, penipuan ini sudah tidak menjadi rahasia lagi. Sudah menjadi kebiasaan. Akibatnya, memajukan waktu sudah tidak bisa menjadi solusi lagi. Meskipun di undangan tertulis pukul 9.00, mereka semua tahu bahwa waktu yang sebenarnya adalah pukul 10.00. Oleh karena itu, mereka sengaja datang pukul 10.00 atau lebih. Kebiasaan tidak on time pun justru menjadi semakin parah. Ketua organisasi pun kembali melakukan makar. Jika seharusnya rapat dimulai pukul 10.00, ia akan menulisnya pukul 8.00. Awalnya berhasil. Tetapi lama-lama gagal juga. Ia pun menyadari hal ini, bahwa penulisan jam palsu tidak akan menyelesaikan masalah. Justru akan membentuk kepribadian yang buruk. Ia pun segera menghentikan kebiasaan ini. Jika rapat seharusnya dimulai pukul 10.00, ia akan tetap menulisnya pukul 10.00. Ia mengajarkan kepada anggotanya betapa berharganya waktu. Ia memberi contoh kepada anggotanya tentang datang on time. Ia selalu datang lebih awal daripada jam yang tertulis di undangan. Ia tetap bersabar meskipun sendirian di tempat rapat, menunggu anggota-anggotanya yang telat.
Seorang mahasiswa yang sengaja datang terlambat karena yakin teman-temannya juga akan terlambat adalah mahasiswa yang tidak tahu diri. Ia menggerutu, mengata-ngatai bahwa teman-temannya tidak bisa on time. Ia lupa bahwa dirinya juga tidak on time. Sejatinya ia sedang memaki-maki dirinya sendiri. Inilah sebenarnya penyebab kegiatan organisasi tak bisa terlaksana secara on time. Setiap anggota selalu berprasangka buruk kepada teman-temannya. Ibarat seorang penduduk desa yang membuang sampah di sungai. Ia berpikir bahwa tidak masalah jika dirinya membuang sampah di sungai. Sampah darinya tidak akan mampu menyebabkan banjir karena hanya sedikit. Namun sayangnya semua orang di desa itu berpikiran begitu. Akibatnya sampah yang menumpuk di sungai tidak lagi sedikit tetapi banyak. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi banyak.

Jadi, marilah kita berhenti berprasangka buruk kepada teman-teman kita. Tidak usah terlalu memikirkan apakah mereka bisa on time atau tidak. Yang terpenting adalah diri kita sendiri harus bisa on time. Sebab on time tidaknya suatu acara sangat bergantung pada on time tidaknya kita. Jangan takut dan jangan malu untuk sendirian di tempat rapat. Sebagian dari kita sengaja datang terlambat karena takut kalau di tempat rapat belum ada orang. Akhirnya kita memilih untuk mengunggu yang lain datang baru kita datang. Sayangnya semua orang malah saling menunggu. Cukup…cukup sudah, it’s time to STOP. Marilah kita akhiri kebiasaan buruk ini. Sudah saatnya bagi kita untuk menjadi pribadi yang ON TIME.

Pengarang : Wahyu Nurodin

Share:

Sabtu, 13 Mei 2017

Sepotong Kisah dari Hujan





Ro memilih menyerah. Ini sudah sekian kalinya ia berusaha maksimal, namun semuanya masih terus sama. Ini berat,tetapi terlalu berat untuk terluka terus-terusan. Mereka memang sudah tak sejalan. Terlalu banyak hal yang bertolak belakang hingga membuat mereka sulit menjadi sama.
"Jadi, beginikah akhirnya?"
Ro masih diam seribu bahasa. Otaknya sedang berkecamuk tidak karuan.
"Tak adakah cara lain untuk menyelesaikan ini?" ia masih penuh harap
Tak ada sepatah kata pun yang mampu diutarakan Ro. Ia masih terus bungkam dan mengalihkan pandangannya ke lain arah. Pria itu pun ikut diam. Tak lagi ada sepatah kata pun yang mampu ia katakan. Pandangannya juga terus dialihkan ke depan. Tidak ada interaksi yang terjadi di antara mereka selama beberapa menit. Semua memilih untuk bertahan pada kebungkaman masing-masing.
"Mari, kita bicara sambil berjalan saja." ajak pria itu beranjak dari kursi
Ia pun memilih jalan lebih dulu. Tidak ada pilihan lain, hingga Ro memutuskan untuk bangkit dan mengikutinya dari belakang. Mereka pun mulai meninggalkan kursi taman itu. Sepatah kata pun bahkan tidak terlontar sepanjang mereka berjalan.
"Kita sering mengunjungi taman ini, namun kita tak pernah sekali pun berjalan mengitarinya. Lucu, ya?" kata pria itu sambil tersenyum
"Meskipun kita harus mengitarinya dengan keadaan seperti ini, aku sungguh tak pernah menyesalinya."
Ro menghentikan langkahnya, "Zis?" sebut Ro
Azis menghentikan langkahnya lalu membalikkan tubuhnya, "Ssstt!" kata pria yang bernama Azis itu
"Mari kita selesaikan satu-satu. Untuk saat ini, hal pertama yang harus kita selesaikan adalah mengitari taman ini." Azis berjalan lagi
Ro mengalah dan memilih mengikuti kemauan Azis. Tidak menyenangkan memang, namun ia harus tetap menghormati perasaan Azis. Langkah demi langkah yang mereka pijakkan, akhirnya membawa mereka ke kembali ke kursi tadi. Azis sempat berdiam agak lama di depan kursi itu. Ia bahkan menundukkan kepalanya. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Ro berusaha bersabar dan tidak mengatakan apa-apa. Beberapa saat kemudian, Azis terdengar menghela napas. Entah mengapa Ro begitu lega mendengarnya. Azis kembali menegakkan kepalanya, pria tampan itu lalu duduk di kursi. Ro pun juga ikut duduk. Lagi-lagi mereka bungkam satu sama lain.
"Apa aku harus benar-benar melepaskanmu, Ro?" tanya Azis
"Aku juga akan melakukan hal yang sama, Zis." jawab Ro dengan nada lembut
"Aku pun juga akan mencoba untuk benar-benar melepaskanmu." pandangan Ro tertuju ke Azis
"Setelah kita bersama-sama melepaskan satu sama lain, apa kamu yakin kita akan bahagia setelahnya? Kamu yakin itu Ro?" Azis balik menatapnya
"Tidak ada yang tahu kapan kebahagiaan itu akan hadir dalam hidup ini. Mungkin kita akan bahagia, namun mungkin juga tidak." Ro mengalihkan pandangannya ke depan
"Baiklah, sekuat apapun aku berusaha meyakinkanmu bahwa melepaskan bukanlah cara yang tepat, kamu pasti tetap tidak akan mendengarkan." ujar Azis
"Zis!!" ucap Ro sedikit keras                                               
Azis terdiam sambil menundukkan kepalanya. Ro menghela napas panjang. Azis terlihat putus asa. Ia juga terlihat begitu sulit untuk menerima kenyataan pahit seperti ini. Hingga membuatnya tak kuasa lagi menahan buliran air mata yang sudah ingin jatuh. Tanpa mengatakan apapun, Azis pergi begitu saja. Ro bahkan tak mampu mencegahnya. Ia pun juga ikut pergi meninggalkan kursi taman itu.
Esok harinya...
Ro kembali menuruti kemauan Azis agar mereka dapat bertemu kembali. Kali ini, lokasi pertemuan mereka pindah ke cafe tempat biasa mereka makan bersama. Ro datang tepat ketika jarum panjang menunjuk angka satu. Ro tampak begitu cantik dengan balutan baju gamis berwarna merah jambu yang dipadu dengan hijab warna biru. Azis sudah menunggunya di meja tempat mereka biasa makan. Tak kalah dengan Ro yang tampil cantik, Azis pun tampak begitu tampan dengan perpaduan kemeja panjang berwarna biru gelap dengan celana jeans berwarna hitam. Ro langsung menghampirinya. Mereka berdua tampak begitu kikuk. Azis pun langsung mengambil inisiatif untuk memesan minuman favorit mereka. Begitu pelayan itu pergi, suasana kembali hening. Namun Azis kembali mengambil iniatif lebih dulu.
"Aku pasti sudah banyak membuang-buang waktumu. Maafkan aku,Ro." ucap Azis dengan nada menyesal
"Mari kita selesaikan ini, Zis." kata Ro
"Aku tak ingin kita memilih jalan ini."
"Zis!" Ro mulai tegas
"Apa kamu tahu betapa hancurnya perasaanku ketika harus memutuskan ini? Sedikit saja, hargai perasaan kita masing-masing. Lupakan ego kita yang tak beralasan itu. Aku tidak memutuskan ini untuk membuat kita berdua menderita. Aku ingin kamu bahagia!"
"Bahkan jika takdir sekalipun yang menginginkannya, jawabanku tetap akan sama. Hingga akhir hayatku, aku akan tetap merengkuhmu!"
Ro kehabisan kata-kata. Ia terus menunduk sambil memegangi kepalanya. Buliran air mata pun jatuh membasahi pipinya. Suasana kembali hening. Azis pun juga ikut-ikutan frustasi. Semua jalan seakan tertutup untuk masalah mereka ini. Pelayan akhirnya datang membawa minuman favorit mereka.
"Minumlah ini, meskipun takkan mampu mengubah apapun, setidaknya kamu takkan dehidrasi karena terus-menerus meneteskan air mata."
Mata Ro langsung melirik tajam Azis. Meskipun dipelototi, Azis tampak santai dan tenang sekali.
"Apa terlalu berat bagimu untuk meminum ini?"
"Ayo kita selesaikan ini!"
Tatapan Ro begitu serius. Azis menanggapinya dengan senyuman.
"Apa aku terlihat seperti orang yang ingin berpisah denganmu?" tanya Azis balik
"Ini semua terlalu membuang-buang waktu." Ro langsung pergi
Azis kesal melihat ketidakmampuannya untuk mencegah wanita yang ia cintai pergi. Ia pun menghela napas berat.
Malam harinya...
Azis memberanikan dirinya untuk datang ke rumah Ro. Ia tahu hal ini tetap tidak akan berhasil untuk membujuk wanita pujaannya itu. Namun ia tidak ingin mereka berpisah. Itu bukan jalan yang tepat. Azis menekan hel rumah itu. Tak lama kemudian, seseorang membukakan pintu untuknya. Azis cukup terkejut ketika tahu siapa yang membuka pintu untuknya. Ia mendadak gugup. Namun tidak demikian pula dengan si pembuka pintu. Ro terlihat tidak begitu senang begitu tahu siapa tamunya.
"Maafkan aku, Ro." ucap Azis penuh penyesalan
"Aku tidak bicara denganmu sampai kamu memberikan jawaban." tegas Ro
"Apakah kamu begitu memerlukan jawaban itu?"
Ro diam.
"Tolong pikirkan cara yang lain." sambung Azis
Wanita itu enggan menjawab. Azis mulai menyerah membujuk Ro.
"Ro?" sebut Azis
"Kita akan bicara kalau kamu sudah memberikan jawaban." Ro langsung pergi dan menutup pintunya
Azis terpaksa pulang dengan tangan hampa.


To be continue...

Pengarang : Dis Yosri

Share: